Beberapa tahun lalu saya pernah menulis dalam judul 6 tahun yang lalu di tiap setengah empat pagi, tentang pekerjaan ibu saya menyambangi pasar demi pasar seantero Jogja, berjualan bolu untuk menambah belanja bulanan mencari tambahan menghidupi kami berlima. Gaji bapak tidak begitu cukup atas berbagai kebutuhan kami yang semuanya musti dipenuhi. Walaupun Bapak termasuk lumayan dalam jabatan dan kepangkatan di salah satu intitusi jawatan, tetapi kehidupan kami tidak seperti orang lain yang sepantaran dengan pangkat dan golongan yang Bapak sandang. Bapak selalu mengatakan kepada kami anak-anaknya, bahwa selama mencari uang Bapak sangat berhati-hati dan jangan sampai ada uang yang tidak halal masuk mengendap di darah kami, tumbuh menjadi daging. Tidak Barokah kata beliau.
Sabtu, 18 Februari 2012
Rengga Kandha
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor Aenean massa.
You Might Also Like
Rabu, 15 Februari 2012
Si lelaki begitu percaya diri. Melangkah gontai di tanah basah sehabis hujan menyiram bumi. Aromanya yang khas dihirupnya dalam-dalam seakan aroma wangi yang sulit dicari. Mendongak kepalanya seperti khawatir mendung akan datang kembali menjadi payung perjalanannya yang masih separuh. Ke barat arah yang hendak dituju. Ke tempat kembang Wijayakusuma tumbuh di puncak gunung kawah menjilat jilat. Adalah Sang Ibu menitahnya untuk mencari kembang yang konon berkhasiat dahsyat melumat banyak penyakit. Selain juga untuk pegangan memancarkan wibawa, kharisma, serta beraneka rupa manfaat lainnya.
yang terakhir itu ia tak begitu percaya. hanya semata-mata kehendak berbakti pada sang ibu saja yang membuatnya bergerak. Ibunya adalah sosok yang paling ia hormati, pendidik awal sebelum guru, pengajar handal sebelum gigi susunya total tanggal.
"Nak, kau sudah cukup umur. Waktunya kau menguji ilmumu yang kau reguk selama ini. Pergilah ke barat. Petiklah kembang wijaya kusuma untuk bekal hidupmu. " begitu pesan ibunya suatu petang selepas adzan magrib berkumandang. Sebenarnya ia tidak begitu tahu apakah masih ada atau tidak kembang wijaya kusuma itu saat ini. Sebab ia hanya tahu dari kisah pewayangan yang sempat ia cerap di buku-buku perpustakaan. Tentang senjata Kresna, mengenai Dewi Pratiwi yang memasang syarat calon suaminya harus memiliki kembang sakti tersebut. Lakon tersebut merupakan kisah dari Sri Wisnu krama. Kresna yang merupakan titisan wisnu di kisah lain juga menyandang kembang tersebut untuk menghidupkan orang yang telah mati.
Rengga Kandha
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor Aenean massa.
You Might Also Like
Selasa, 08 November 2011
aku temui huruf, maka menjelma kata kata,
tapi tak pernah bisa merangkai lirik puitik
untuk kubariskan tentangmu,
aku jumpai malam, maka kubaca petang berjalan menuju terang,
tapi tak pernah dapat menuang
terang di singkap rasaku
Ah...barangkali tak cukup kata dalam berbagai bahasa untuk
mengagumimu.
Tak cukup nyali mengurai telaga renjana menjadi
kerontang.
Nologaten,
04-11-2011
01:40
Sumber Gambar
Rengga Kandha
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor Aenean massa.
You Might Also Like
Minggu, 23 Oktober 2011
memang mereka hanya sepasang sandal sundal
lapik kaki bagi orang yang malas tersentuh tanah,
ogah terpercik tahi, tersenggol beling
juga besi karat berupas tetanus.
meski berguna, lebih sering diabaikan bila sepatu sudah mengikat kuat
melindungi tapak tungkai hingga batas mata kaki.
sandal sundal hanya dicari bila tak ada lagi pelindung kala penyangga tubuh melangkah ke halaman rumah
tak sampai jalan dikenakan,
tak sampai halaman tetangga bahkan.
hanya disimpan bersama tumpukan barang usang
begitupun dengan engkau dan dia.
tak lebih lebar mata memicing memperhatikan.
tak seperti kamu memandang barang di keranjang obralan di pusat pertokoan
jadi gunjing bila senggang,
bahan banyolan panjang sambil cekikik sana sini
sepasang sandal sundal tampat maki segala maki singgah tercurah
sumber
lapik kaki bagi orang yang malas tersentuh tanah,
ogah terpercik tahi, tersenggol beling
juga besi karat berupas tetanus.
meski berguna, lebih sering diabaikan bila sepatu sudah mengikat kuat
melindungi tapak tungkai hingga batas mata kaki.
sandal sundal hanya dicari bila tak ada lagi pelindung kala penyangga tubuh melangkah ke halaman rumah
tak sampai jalan dikenakan,
tak sampai halaman tetangga bahkan.
hanya disimpan bersama tumpukan barang usang
begitupun dengan engkau dan dia.
tak lebih lebar mata memicing memperhatikan.
tak seperti kamu memandang barang di keranjang obralan di pusat pertokoan
jadi gunjing bila senggang,
bahan banyolan panjang sambil cekikik sana sini
sepasang sandal sundal tampat maki segala maki singgah tercurah
sumber
Rengga Kandha
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor Aenean massa.
You Might Also Like
Minggu, 18 September 2011
Banyak hal yang aku kagumi dari dirimu dalam hidup. Tidak ada keterbatasan yang kau anggap sebagai penghalang mu untuk maju berkembang. Keberanianmu begitu kuat terbenam di kepala dan sikapmu yang terus kujadikan muara untuk belajar. Kau sering diam saat aku paparkan beberapa hal. Menyimak penuh cermat, lalu menelaah dalam-dalam.Terkadang tak cukup sebentar kita tukarkan kabar dan cerita. Satu hal yang membuatku terhenyak kagum padamu adalah saat kita bersama ke Jakarta. Merapat di ibukota untuk menghadiri agenda hari agraria.
Kereta yang kita naiki begitu sarat muatan penumpang yang kembali setelah puas melepas rindu pada kampung halaman, pada handai taulan saat lebaran. Kau dan aku serta dua orang kawan kita berdiri hingga Bekasi. Tiada lagi kata-kata yang kita lontarkan selain wajah kita yang menunjukkan lelah yang amat sangat. Kita berdua sama-sama bertubuh kecil. Hampir dua belas jam terhimpit di sela-sela ketiak pengikut ular besi ekonomi. Angkutan rakyat pilihan orang kebanyakan seperti kita. Tidak bisa bergerak, memindahkan kaki, atau bergeser sekedar mengguritkan sendi, mengusir pegal yang merambati tulang-tulang. Kau tidak banyak mengeluh.bahkan saat seseorang bertubuh gempal menyandarimu ketika kantuknya tak mampu ditolak. Tidak ada protes yang kau muntahkan.
Kita tiba tepat ketika azan subuh berhenti. Dua kawan yang menjemput sudah menanti sedari pukul empat pagi. Kukatakan bahwa kereta terlambat tiba karena berhenti lama di stasiun Cirebon. Kubakar rokok yang tersisa di saku celana. Kutawarkan padamu tapi kau menolak. Kau hanya minta seteguk air. Kusodorkan segera botol air mineralku yang sisa setengah. Sebentar saja kau tenggak tanpa sisa.
Rengga Kandha
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor Aenean massa.
You Might Also Like
Jumat, 19 Agustus 2011
Sepertiga malam yang memabukkan.
Karena aku terjaga mereguk nektar bayangmu.
Sepertiga malam menjelang fajar menyingsing,
Singkaplah hatimu agar menjadi terang [padaku]...
Seandainya saja keberanian itu mampu dimuntahkan saat itu, barangkali tidak ada penyesalan mendalam dari keseharian Gaung meniti hari. Kesalahan yang tak termaafkan atas sikap pengecutnya di masa lalu. Dipecundangi ketakutan, dikalahkan oleh kecilnya hati, minder tak ada rasa percaya diri yang kuat. Entah menguap begitu saja begitu sederet kalimat akan dia ungkap dihadapan Sekar Ungu; perempuan idamannya, kandas menjadi tapak yang tak berbekas.
"Tunggu aku di kotamu. Setelah purnama kedua ini usai,"
"Utarakan maksud hatimu agar menjadi terang padaku.." begitu balasnya dalam pesan pendek.
Gaung di atas angin.Ada kesempatan yang diberikan untuk menjelaskan perasaannya yang tumbuh berkecambah dan perlahan mulai beranjak menjadi besar. Berhari-hari ia menekuri kamus besar bahasa Indonesia, Membolak-balik kamus tesaurus guna memilih lema paling tepat agar kata-katanya tidak seperti lelaki kebanyakan saat menyatakan maksud hati kepada perempuan sanjungan hatinya. Tidurnya tak lagi nyenyak. Bila terbangun tiba-tiba sesegera ia menatap kalender yang terpampang di dinding kamar.
"Ah, masih lama.. kapan kah tiba hari itu?"
Kalau sudah seperti itu ia susah kembali untuk melanjutkan tidurnya yang terpotong.
Demikian hal tersebut terjadi terus menerus hingga ia merampungkan satu jilid buku tulis tebal. Tiap kali ia sudah susah tidur, memang pelariannya tak lain adalah mengairi buku tulisnya dengan kata-kata. Tidak pernah ada tema yang ia khususkan saat menulis buku tersebut. Semua hanya ia biarkan mengalir begitu saja begitu ide terlintas tiba-tiba di kepalanya. Dua purnama berhasil ia lewati, dan patahan-patahan waktu itu menjelma menjadi buku tulis yang penuh menyaji ragam cerita. Dari kekuasaan yang tamak, ibu kos yang galak, hingga tema tentang makanan yang sering membuatnya tersedak. Walau demikian dominan paparan cerita masih seputar perasaannya yang sedemikian dalam.
Energinya seperti baterai yang penuh setelah dicharger, begitu menulis tentang si Sekar Ungu.Perempuan lucu dengan gigi serupa truwelu. Tentang kebiasaannya dulu saat menunggu di bawah tangga untuk sekedar
Karena aku terjaga mereguk nektar bayangmu.
Sepertiga malam menjelang fajar menyingsing,
Singkaplah hatimu agar menjadi terang [padaku]...
Seandainya saja keberanian itu mampu dimuntahkan saat itu, barangkali tidak ada penyesalan mendalam dari keseharian Gaung meniti hari. Kesalahan yang tak termaafkan atas sikap pengecutnya di masa lalu. Dipecundangi ketakutan, dikalahkan oleh kecilnya hati, minder tak ada rasa percaya diri yang kuat. Entah menguap begitu saja begitu sederet kalimat akan dia ungkap dihadapan Sekar Ungu; perempuan idamannya, kandas menjadi tapak yang tak berbekas.
"Tunggu aku di kotamu. Setelah purnama kedua ini usai,"
"Utarakan maksud hatimu agar menjadi terang padaku.." begitu balasnya dalam pesan pendek.
Gaung di atas angin.Ada kesempatan yang diberikan untuk menjelaskan perasaannya yang tumbuh berkecambah dan perlahan mulai beranjak menjadi besar. Berhari-hari ia menekuri kamus besar bahasa Indonesia, Membolak-balik kamus tesaurus guna memilih lema paling tepat agar kata-katanya tidak seperti lelaki kebanyakan saat menyatakan maksud hati kepada perempuan sanjungan hatinya. Tidurnya tak lagi nyenyak. Bila terbangun tiba-tiba sesegera ia menatap kalender yang terpampang di dinding kamar.
"Ah, masih lama.. kapan kah tiba hari itu?"
Kalau sudah seperti itu ia susah kembali untuk melanjutkan tidurnya yang terpotong.
Demikian hal tersebut terjadi terus menerus hingga ia merampungkan satu jilid buku tulis tebal. Tiap kali ia sudah susah tidur, memang pelariannya tak lain adalah mengairi buku tulisnya dengan kata-kata. Tidak pernah ada tema yang ia khususkan saat menulis buku tersebut. Semua hanya ia biarkan mengalir begitu saja begitu ide terlintas tiba-tiba di kepalanya. Dua purnama berhasil ia lewati, dan patahan-patahan waktu itu menjelma menjadi buku tulis yang penuh menyaji ragam cerita. Dari kekuasaan yang tamak, ibu kos yang galak, hingga tema tentang makanan yang sering membuatnya tersedak. Walau demikian dominan paparan cerita masih seputar perasaannya yang sedemikian dalam.
Energinya seperti baterai yang penuh setelah dicharger, begitu menulis tentang si Sekar Ungu.Perempuan lucu dengan gigi serupa truwelu. Tentang kebiasaannya dulu saat menunggu di bawah tangga untuk sekedar
Rengga Kandha
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor Aenean massa.