Minggu, 18 September 2011

September Tahun Lalu


Aku habiskan waktu bersamamu kawan, dalam berbagai kisah yang tak pendek untuk diceritakan kelak pada mereka yang mengulik jejak kita. Kita biasa menghabiskan waktu di warung kopi. Bersama obrolan hangat secangkir kopi dengan untaian tema yang tak pasti. Terkadang kita ngrasani banyak orang. Terkadang kita mencibir, memaki, dan berandai-andai mengenai banyak hal. Kau begitu senang menanggapi semua omonganku. Aku pun riang saat ada yang membalas obrolan pembukaku. Kita saling bercakap-cakap sampai bergelas-gelas tandas, sampai matahari pagi menyengat di ubun-ubun kepala kita.
Banyak hal yang aku kagumi dari dirimu dalam hidup. Tidak ada keterbatasan yang kau anggap sebagai penghalang mu untuk maju berkembang. Keberanianmu begitu kuat terbenam di kepala dan sikapmu yang terus kujadikan muara untuk belajar. Kau sering diam saat aku paparkan beberapa hal. Menyimak penuh cermat, lalu menelaah dalam-dalam.Terkadang tak cukup sebentar kita tukarkan kabar dan cerita. Satu hal yang membuatku terhenyak kagum padamu adalah saat kita bersama ke Jakarta. Merapat di ibukota untuk menghadiri agenda hari agraria.
Kereta yang kita naiki begitu sarat muatan penumpang yang kembali setelah puas melepas rindu pada kampung halaman, pada handai taulan saat lebaran. Kau dan aku serta dua orang kawan kita berdiri hingga Bekasi. Tiada lagi kata-kata yang kita lontarkan selain wajah kita yang menunjukkan lelah yang amat sangat. Kita berdua sama-sama bertubuh kecil. Hampir dua belas jam terhimpit di sela-sela ketiak pengikut ular besi ekonomi. Angkutan rakyat pilihan orang kebanyakan seperti kita. Tidak bisa bergerak, memindahkan kaki, atau bergeser sekedar mengguritkan sendi, mengusir pegal yang merambati tulang-tulang. Kau tidak banyak mengeluh.bahkan saat seseorang bertubuh gempal menyandarimu ketika kantuknya tak mampu ditolak. Tidak ada protes yang kau muntahkan.
Kita tiba tepat ketika azan subuh berhenti. Dua kawan yang menjemput sudah menanti sedari pukul empat pagi. Kukatakan bahwa kereta terlambat tiba karena berhenti lama di stasiun Cirebon. Kubakar rokok yang tersisa di saku celana. Kutawarkan padamu tapi kau menolak. Kau hanya minta seteguk air. Kusodorkan segera botol air mineralku yang sisa setengah. Sebentar saja kau tenggak tanpa sisa.

Setelah selesai agenda kau mengajakku singgah di rumahmu. Di sebelah barat daya ibukota Jakarta Raya. Tiga jam lamanya kita menempuh perjalanan. Oper angkot dua kali, lebih dari enam batang dunhill kuhabisi.
Masih ditambah jalan kaki menyusuri gang-gang kecil berkelok menuju rumahmu. Kau menunjukkan padaku dinding-dinding rumah yang kita lewati. Dinding-dinding dengan noda lumpur setinggi satu meter.
“Daerah ini selalu langganan banjir Bung..”
“Termasuk rumahku” ungkapmu seraya mempercepat langkah. Ibumu menyambut dengan gembira begitu kaki menjejak pintu pagar rumah. Diciumnya berkali-kali pipimu yang tirus. Menghabisi rindu yang begitu berduru.
Kowe karo sopo, Le?”
Kulo rencange kampus Truno, Bu” sahutku sambil menjabat tangan bapakmu dan ibumu bergantian.
Setelah es teh segar bikinan ibumu mengobati gerahku, Ibumu menawarkan makan. Menu yang luar biasa dihidangkan di depan meja langsung kubabat tanpa sisa. Laparku memang sangat terasa sejak kita berangkat. Sop ayam, sambal korek, langsung membuatku tak berhenti memuji masakan ibumu yang dahsyat. Lalu mengalirlah cerita mengenai perantauan keluargamu. Melawan situasi, dari tanah kelahiranmu yang gersang, tandus itupun harus ditambah dengan langkah cepat dengan tikus bila panen yang tak seberapa tiba. Maka menjadilah petandang sebagai pilihan bertahan. Ibu dan bapakmu orang yang hebat kubilang. Bergulat dengan kejamnya kota, demi dirimu menggapai titel sarjana. Menggelontorkan keringat bergalon-galon agar dirimu bisa puas mencecap ilmu pengetahuan di bangku sekolahan. Membanting tulang sejauh 560 kilometer dari desa demi kehidupan keluarga. Sungguh luar biasa, berjualan keliling sayur mayur dan bertukang di proyek-proyek pertokoan. Hidupmu yang keras, sekali lagi membuatku belajar bahwa perjuangan sesungguhnya harus kucontoh dari Bapak dan Ibumu. Kau tak pernah bercerita tentang keadaan keluargamu, bahkan kau diam saja saat kita pernah diskusi mengenai kebanyakan orang di negri ini hidup tak lebih dari satu dollar. Tetapi sesungguhnya kau justru tahu betul, mengerti benar mengenai hal itu. Bukan sekedar mencomot kalimat dari surat kabar, atau menonton dari siaran televisi. Kau paham benar keadaan tersebut tanpa harus mendayu-dayu meratap pilu.
Keadaanmu kau jadikan dendam untuk berkembang. Melecut diri agar tiada kesiaan dari segenap pengorbanan dari orang tua. Itu kau buktikan dengan prestasi akademikmu, kemampuanmu mengelola organisasi, mengisi diskusi di longgar waktumu, dan kau sempatkan pula untuk terus menggauli buku di perpustakaan, di sela-sela jam pergantian kuliah. Tulisanmu pun tak pernah absen mengisi ruang-ruang publik. Di jurnal ilmiah, di surat kabar, pun di lembar-lembar buletin kampus. Bahkan saat harus berdemonstrasi engkaupun tak mangkir untuk berorasi paling lantang.
Aku belajar darimu kawan tentang petuah padi, saat bertumbuh tanpa berisik, makin berisi makin merunduk...

Sumber Gambar

2 komentar: