Jumat, 08 Agustus 2008

“Dadia Banyu Emoh Nyawuk, Dadia Godhong Emoh Nyuwek”




Bebasan jawa ini lebih sering diucapkan oleh mereka yang memutus relasi. Entah itu persekawanan, persahabatan sampai persaudaraan. Bagi saya jika sampai ada seseorang yang mengucap kalimat azimat ini adalah sebuah ila-ila yang pantang untuk ditarik kembali. Mengapa? Ini karena kalimat akhir pemutus tali silaturahmi. Biasanya orang yang mengucap kalimat ini adalah orang lelah lantaran dikecewakan atau telah dibuat sakit sebab sikap yang kalap. Saya tidak mengerti, tetapi saya pernah menjumpai suatu kasus senada. Tentang maaf yang tak mungkin bisa dilempar dan tentang salah yang tak mungkin bisa lagi diperbaiki.
Satu waktu ada seseorang yang bercerita kepada saya. Saya kemudian mengkategorikannya sebagai kasus yang sulit, rumit dan tak berani berkomentar. Bagi saya diam adalah jawaban paling tepat untuk bersikap. Mendengarkan adalah terbaik guna menelaah lebih dalam dari sebuah masalah.
Ketika itu seseorang bercerita bahwa ia pernah bertemu seseorang dan lalu menjadi intim. Tidak lagi hanya semata teman bicara, tetapi lebih. Lebih dari berbagi dari mulai sesuap nasi sampai materi melainkan sudah sampai juga pada wilayah hati.
Sebut saja dia Maneka. Bukan kekasih Sukab juga bukan saingannya Alina . Maneka wanita biasa saja. Seperti perempuan kebanyakan dari kota metropolitan.

Ya. Jakarta Raya. Ibukota Indonesia yang tak pernah berhenti mengeruk kekayaan dari belahan daerah lain di Indonesia. Maneka secara pribadi dibentuk oleh lingkungan liar dan liberal. Tidak ada kasih sayang dalam wujud perhatian melainkan uang menjadi jawaban atas bentuk tanggung jawab orangtua kepada anaknya. Ayahnya jarang pulang. Ibunya selalu safari arisan, bergiat sosial, padahal hanya kedok untuk bergosip, mencari kepuasan lain, biar dibilang sama-sama sibuk.
Tipikal manusia metropolis selalu berujung pada kesibukan dan menganggap dirinya hebat. Merasa super dengan uang yang ia miliki. Merasa semua bisa dibeli. Mulai dari kasih sayang, sampai ‘merajang’ orang. Demikian pula Maneka. Sifatnya menurun juga kepadanya. Menganggapnya hal itu adalah biasa serta lumrah . Hingga pada saat ia hijrah ke Jogja. Menggerus ilmu, mencari selembar ijasah, sepotong titel pengakuan dari dunia pendidikan tinggi.
Sifat itu masih terbawa. Merasa segalanya bisa diselesaikan dengan uang. Menggenggam semua orang berdasar lelembar alat tukar. Sampai suatu saat berjumpalah Maneka dengan Sukab. Pemuda berbadan gelap dengan segenap budi merekat. Pertama kali Sukab merasa bahwa sikap itu adalah bawaan dan bisa berubah seiring polah berlalu. Seiring kain basah mengering. Kedua kali ditolerir, ketiga mulai ditegur, hingga kempat sampai kesekian bilangan tak terhingga akhirnya berujung jengah, muak pada ujung persekawanan. Sampai Si Sukab berucap mantap sembari muntab ia berkata penuh marah lantaran lelah:
“Dadia banyu emoh nyawuk, dadia godhong emoh nyuwek!”
Saya menyayangkan sekali mengapa hal ini musti terjadi. Pun, juga saya merasa bahwa kesalahan manusia itu selalu muncul bersama tindakan yang dilakukan. Setiap kali bertindak, setiap kali itu pula salah akan sempat mampir. Hanya saja seberapa mampu kita belajar dari segenap salah yang meruah. Berbijaksana di hari nanti. Semestinya itu terjadi.
Pernah mendengar cerita mengenai ajaran moral seorang bapak kepada anaknya mengenai suatu perbuatan kesalahan kepada orang lain?
Satu cerita itu dimulai dengan seorang bapak yang bukan kepalang melihat anaknya yang selalu berbuat salah. Saat hendak mengingatkan kepada sang anak, si bapak berpikir mengenai kemungkinan-kemungkinan yang muncul dari tindakan yang akan dilakukan kepada sang anak. Sang bapak sangat takut bila dalam satu tindakan untuk mengingatkan anaknya akan berujung pada sebuah keputus asaan sang anak atau malah semakin ndadra dalam perbuatannya semena-mena berbuat salah pada setiap orang.
Syahdan, kemudian Sang Bapak bertutur pada anaknya.
“ Nak, lakukanlah apa yang akan kau lakukan. Apakah itu perbuatan baik atau buruk sekalipun. Bapak sama sekali tidak melarang. Sedikitpun.”
Sang anak mendengar komando ayahnya serta merta tertawa bahagia dan menyahut:
“Benarkah, Pak?Baik saya akan melakukan apapun yang saya mau. Tapi bukankah Bapak selalu mengajarkan kebaikan di setiap tempat Bapak berpijak?”
“Ya anakku. Bapak hanya berpesan satu hal kepada kamu. Saat engkau berbuat salah kepada seseorang, siapapun itu di muka bumi ini, maka kau cukup memberi tanda dengan menancapkan paku ke pagar depan rumah kita. Begitu saja”.
Sang anak mengangguk. Mengerti benar kalimat dari setiap ucap bapaknya. Maka iapun melakukan hal yang ia dengar dari petuah bapaknya. Setiap kali ia menyakiti orang, setiap itu pula ia menancapkan paku ke pagar depan rumahnya. Setiap kali ia menindas orang, menghasut, memfitnah, berbohong, menipu, berdusta, serta mengingkari janji, juga bersikap melecehkan orang, memandang remeh, sombong, takabur, setiap itu pula ia menancapkan paku dipagar depan rumahnya. Hingga tak terasa pagar di depan rumahnya telah penuh paku yang ia tancapkan berbaris rapi banyak sekali. Sampai ia bingung tak ada tempat lagi untuk menancap paku di pagar depan rumahnya.
“Apakah ini artinya saya tak boleh berbuat semaunya lagi ya?”
Pikir sang anak saat itu. Dalam kebingungannya itu ia kemudian bertanya pada bapaknya.
“ Pak, pagar depan rumah telah penuh tertancap paku. Hebat tidak Pak?”
“Anakmu ini. melakukan hal ini semua hanya dalah sebulan saja”.
Demikian sang anak berujar sambil tersenyum bangga.
“Nah, Nak…sekarang kau meminta maaf kepada semua orang yang pernah kau zalimi. Kau tempati salah. Lalu setiap kali kau minta maaf, setiap itu pula kau mencabut paku di pagar depan rumah kita”.
Benar. Sang anak melakukan semua daulat dari sang bapak. Ia pun berkeliling ke setiap orang yang pernah ia singgahi salah. Serta di setiap kesempatan itu pula ia menerbitkan maaf kepada mereka. Juga di masing-masing salah itu ia cabut paku yang menancap di pagar depan rumahnya. Sang anak merasakan beban yang demikian berat. Ia merasakan ternyata sangat sulit meminta maaf atas segala luput yang pernah berpagut. Tak seperti saat ia mlempar salah pada setiap orang. Di setiap sempat itu, ia tak jarang menjumpai bahwa kesalahan yang pernah ia lakukan ternyata sangat membekas hingga ia sulit sekali di maafkan. Namun karena ia telah bertekad bulat melakukan apapun perintah bapaknya, maka sekuat tenaga ia selalu mencoba untuk meminta maaf sampai semua orangpun akhirnya memafkan walau banyak pula yang membagi maaf karena terpaksa.
Begitu selesai ia melakukan tugas kedua dari sang bapak, ia pun bergegas kembali menjumpai bapaknya.
“Pak, telah kuselesaikan semua tugasku. Telah kulakukan mengelilingi semua salahku dan meminta maaf pada mereka. Dan telah pula kucabut setiap paku pada setiap salah yang kutebus dengan maaf di pagar depan rumah kita.”
“Lalu apa yang kau dapati Nak, dari pagar depan rumah kita sekarang?”
Tanya sang bapak kemudian.
“Kosong Pak!, sesuai perintah Bapak kan? Saya mencabut semua paku yang pernah saya tancapkan.”
“Kalau kau perhatikan kembali,….Apakah ada bekas yang kentara Nak dari pagar-pagar kita?”
Sang anak merenung sebentar. Sembari kembali mengingat dari tampilan pagar sesudah ia cabut dari paku yang ia tancap.
“Ia Pak. Terlihat sekali lobang-lobang paku yang pernah saya tancap. Pagar kita menjadi jelek karena dihiasi oleh lobang-lobang yang membekas.”
“Yah, itulah Nak yang terjadi saat kita membuat salah pada orang-orang. Walaupun kita berusaha sedapat mungkin melontar maaf kepada setiap orang yang kita nodai dengan salah kita, salah kita tetap membekas di hati orang tersebut. “
“Yah, seperti paku yang kita tancap. Setiap salah kita melobang hati mereka dan permintaan maaf kita tetap saja meninggalkan jejak.”
“Oleh sebab itu nak, berhati-hatilah menjaga sikap. Berhati-hatilah dalam berbuat. Serta jagalah setiap tindak-tandukmu saat berhubungan dengan orang lain.”
Sang anak terdiam. Sadarlah ia bahwa maksud dari Sang Bapak menyuruhnya untuk berbuat semaunya. Rupanya Bapaknya ingin ia belajar melalui kesalahan. Belajar melalui apa yang pernah ia lakukan. [rd] 
link

0 komentar:

Posting Komentar