Dalam banyak peribahasa kita, ular tidak bisa dilepaskan begitu saja tanpa peran yang jelas. Pada kehidupan orang kita, sejak mulai dari dalam kondisi sadar hingga di alam mimpi selalu ada saja ungkapan berkaitan dengan ular. Selain mimpi digigit ular yang kita semua tahu artinya, konon bila rumah kita dimasuki ular ada anggapan bahwa kita akan pindah rumah tidak berapa lama kemudian.
Hampir sebagian besar dari kita takut dengan ular. Binatang melata purba ini memang selalu jadi simbol dari segala hal yang berbau keburukan. Dalam cerita kejadian manusia tiba di bumi pun ular ditampilkan sebagai sosok yang menggoda Adam hingga ia rela diusir dari surga demi kecerobohannya memperturutkan kemauan Hawa yang dibujuk oleh ular. Ketakutan orang pada ular pun beraneka ragam. Apakah karena bentuknya yang buruk, kebiasaannya yang menjijikkan, hingga bahaya dari bisa-nya yang mematikan. Seseorang yang pernah dipatuk ular tentu memiliki beragam reaksi. Ada trauma, ada takut, ada macam-macam perasaan lain yang tergambar dari mimik muka serta sikap dan tindakan. Lantaran perjumpaan-perjumpaan manusia dengan binatang yang satu ini, kemudian terbentuklah stereotype mengenai ular.
Maka, mulailah berkembang bahasan ular hingga masuk ke dalam peribahasa. Sebut saja;
“ular berkepala dua, seperti ketiak ular, ular bukan ikanpun bukan, seperti ular kena kedal, sekerat ular sekerat belut, seperti ular menyusur akar, melangkahi ular, sebagai membangunkan ular, jangan berjinak-jinak dengan ular berbisa, seperti ular dicabut ekor, ‘ngula’ sampai pada tafsir digigit ular”.
Sungguh kaya orang-orang kita memasukkan ular sebagai ‘tokoh’ dalam kehidupan sehari-hari. Saya tidak hendak mengulas mengenai binatang dalam cerita di blog ini sebagai spesifikasi tertentu dalam ilmu zoologi. Di samping saya tidak menguasai siapa sesungguhnya binatang melata ini secara cabang disiplin ilmu tersebut, saya juga tidak ahli dalam bidang per-ular-an ini seperti Mbah Ndelik. Saya hanya hendak menceritakan mengenai ‘ular lain’ yang harus diwaspadai. Saya umpamakan ular di dalam tulisan blog ini sebagai sebuah watak. Ular melalui perwujudan perilaku yang licik, jahat dan tidak menghiraukan akibat. Ini sering akan dan bakal (jika belum) kita jumpai. Makanya saya begitu antusias menulisnya.
Konon, kata orang bijak bestari yang pernah saya jumpai waktu mendaki bukit di utara kota saya, ia membagi wasiat dalam bentuk pesan singkat dan begitu ku ingat sampai saat ini.
“yen watuk iku isa mari sarana kalawan obat,
dene yen watak iku ora isa mari kajaba ketemu mati”
Artinya kalau sakit batuk itu dapat sembuh jika diberi obat, sementara watak yang sakit itu tidak bisa disembuhkan kecuali berjumpa dengan ajal.
Setelah saya telaah, petuah ini tak ubah tentang ular yang harus diantisipasi. Sebab manusia yang berwatak ular itu licik, culas bukan kepalang. Segala cara pasti akan dilakukan untuk menjatuhkan. Prinsipnya, apa yang menjadi kehendak bila ada yang menghalang-halangi tanpa ampun siasat ular pun turun. Adu domba, omong bohong, cerita dusta, kalimat dipelintir semua baginya halal dilakukan. Bahkan tak segan memasang tampang manis sebagai umpan. Bisa dipastikan korban akan terperdaya dan tergulung bisa. Tunggu saja, pasti sang ular keluar sarang dan menampang sebagai pemenang… aih-aih cara curang pun ia terjang.
Jika akhir-akhir ini di media begitu riuh rendah mengabarkan tentang perilaku model ular seperti ini, maka tak usah bingung lagi bukan mencari contoh? Sebab mulai dari politisi, sampai pegawai bank, juga laki-laki mencintai laki laki dengan berkamuflase menjadi perempuan telah memberikan kita banyak pelajaran.
“yen watuk iku isa mari sarana kalawan obat,
dene yen watak iku ora isa mari kajaba ketemu mati”.
Jogja, 3 Januari 2011
0 komentar:
Posting Komentar