Rabu, 15 Februari 2012

Ke Barat Mencari Kembang yang Hilang


Si lelaki begitu percaya diri. Melangkah gontai di tanah basah sehabis hujan menyiram bumi. Aromanya yang khas dihirupnya dalam-dalam seakan aroma wangi yang sulit dicari. Mendongak kepalanya seperti khawatir mendung akan datang kembali menjadi payung perjalanannya yang masih separuh. Ke barat arah yang hendak dituju. Ke tempat kembang Wijayakusuma tumbuh di puncak gunung kawah menjilat jilat. Adalah Sang Ibu menitahnya untuk mencari kembang yang konon berkhasiat dahsyat melumat banyak penyakit. Selain juga untuk pegangan memancarkan wibawa, kharisma, serta beraneka rupa manfaat lainnya.
yang terakhir itu ia tak begitu percaya. hanya semata-mata kehendak berbakti pada sang ibu saja yang membuatnya bergerak. Ibunya adalah sosok yang paling ia hormati, pendidik awal sebelum guru, pengajar handal sebelum gigi susunya total tanggal.
"Nak, kau sudah cukup umur. Waktunya kau menguji ilmumu yang kau reguk selama ini. Pergilah ke barat. Petiklah kembang wijaya kusuma untuk bekal hidupmu. " begitu pesan ibunya suatu petang selepas adzan magrib berkumandang. Sebenarnya ia tidak begitu tahu apakah masih ada atau tidak kembang wijaya kusuma itu saat ini. Sebab ia hanya tahu dari kisah pewayangan yang sempat ia cerap di buku-buku perpustakaan. Tentang senjata Kresna, mengenai Dewi Pratiwi yang memasang syarat calon suaminya harus memiliki kembang sakti tersebut. Lakon tersebut merupakan kisah dari Sri Wisnu krama. Kresna yang merupakan titisan wisnu di kisah lain juga menyandang kembang tersebut untuk menghidupkan orang yang telah mati.
Perlahan ia melangkah. Menyaruk tanah, menyusur jalanan lengang yang masih terasa panjang. Baru setengahnya ia tempuh sebelum sampai penuh. Ancar-ancar yang diberikan ibunya sesungguhnya masih kabur untuk dijadikan patokan. Tapi bukankah Tuhan menganugerahi mulut dan telinga untuk bertanya dan mendengar keterangan keterangan dari orang-orang di jalan?
Bila sebelumnya ia hanya separuh hati melaksanakan titah, setelah separuh perjalanan ini ia mulai menikmati panjang perjalanan. Debu jalanan, keringat yang apak, orang-orang yang dengan ratusan kali pertanyaan yang sama tiap berpapasan, bertanya darimana asalnya hendak kemana. Ia menjadi pengumpul cerita dari berbagai kepala yang ia jumpai. ia menjadi hapal dengan orang yang enggan melanjutkan perbincangan, ia menjadi tahu strategi mengakhiri obrolan bila bosan telah meninggi.
Empat puluh hari ia lewati kota-kota sunyi, desa-desa lengang, serta rumah-rumah yang jarang, hingga akhirnya ia tiba di tepi laut. Di sebuah pantai panjang dengan ombak yang berkecipak kecil menghantam tepian pulau jawa selatan. Menurut ancar-ancar ibunya, serta ditambah dengan keterangan yang berhasil ia himpun, ia sudah mendekati tempat dimana bunga incarannya mencacak. Terpaku ia di sudut pantai dan memandang jauh ke depan pulau kecil dengan gerumbulan semak semak.
Bagaimana aku bisa sampai ke pulau kecil itu...
Pandangannya ia edarkan ke segala penjuru. hingga berhenti pada perahu usang lengkap dengan dayung dekil. Hmm, barangkali sudah lama perahu ini digunakan untuk merapat ke pulau seberang itu. Ia menggumam.
Didorongnya perahu ke air, dengan tekanan kuat ia mengkayuh dayung ke tengah menuju arah selatan. Sesekali ke kanan, sesekali ke kiri. Sekitar setengah jam akhirnya ia sampai juga di tepi pulau kecil itu. Begitu ia jejakkan kaki di daratan, angin menamparnya perlahan. Hawa basah menyelusup ke kulit, lengket air garam bercampur menjadi satu dengan keringatnya. Sama-sama asin.  Pasirnya putih, halus terhampar sepemandangan mata mengisar. Langkahnya terayun begitu saja saat pandangannya tertuju pada gunung yang tinggi menjulang di tengah rerimbun semak belukar, pohon dan alang-alang. Tanpa berbuar waktu dengan segera ia melesat sesuai petujuk Ibunya yang tertulis dalam selembar kertas usang dimana didalamnya lengkap dengan peta menuju gunung. Setengah hari lamanya perjalanan telah ia tempuh.Tepat ia berada di puncak gunung terjal, di kitari jurang curam berbatu tajam. Sekali lagi pandangan ia edarkan dengan jeli ke segenap penjuru. Berharap menemukan kembang yang menjadi pesanan ibunya untuk di petik, sebagai pegangan hidup.
"Kuncup putih, tegak di antara ilalang, biasanya terhimpit di antara batu-batuan dan di kelilingi onak duri rimbun".
Begitu kisi-kisi yang ibunda berikan sebagai petunjuk bila ia telah mencapai puncak gunung. Lebih tepatnya gundukan perbukitan terjal pikirnya, begitu sampai di tempat yang di maksudkan. Di pusar pulau kecil itu ia dapat memandang seluruh pulau, sampai lautan yang mengelilinginya juga pulau Jawa di seberang yang memanjang sebatas sampai cakrawala.
tidak ada kembang yang di maksud. ia mencari dengan teliti, tetapi tak juga ia mendapati kembang yang di maksud.
"Mungkinkah kembang ini telah punah? habis di ambil oleh orang-orang yang ingin mukti?" kecamuk pikirannya berbicara. Akhir-akhir ini memang banyak sekali orang pengen mukti. Mencoba peruntungan untuk mendapatkan kekuasaan dengan jalur singkat tanpa mau sukar, tanpa jalan terjal. 
Ia terkulai lemas tak berdaya. Memikirkan jawaban apa yang akan diberikan pada Ibunya.

Sumber Gambar

0 komentar:

Posting Komentar