Selasa, 31 Juli 2012

Sukarjo dan Problemnya

Debt Collector terus memburu cicilan yang tertunggak tiga bulan ini. Tidak banyak sebenarnya, hanya sekitar tujuh ratus lima puluh ribu. Tetapi cukup berat bagi Karjo yang saat ini tidak ada pendapatan sama sekali. Bisa kupastikan bahwa pikirannya saat ini sedang pening bukan main. Bahkan untuk pulang saja ia sudah tidak berani. Melangkah kaki ke depan, ke beranda rumah saja tidak ada nyali untuk ia lakukan. Lebih satu minggu ini ia hanya di jalan. Tidur dimana saja, dan makan dari teman-temannya. Entahlah, aku harus bagaimana, kepalaku sudah buntu untuk membantu keluar dari kerumitan Karjo. Kawan karibku yang kukenal semenjak aku pertama kuliah. Ia sesungguhnya orang yang sangat tulus dalam mengerjakan banyak hal. Tanpa pamrih ia kerjakan apapun yang sanggup ia kerjakan dalam membantu kawan. Aku sendiri dalam posisi masih merintis usahaku. Menjadi agen koran di pojokan kota Senja.  Mengandalkan bertambahnya pelanggan majalah atau koran di era digital dan internet yang saat ini mudah diakses dalam genggaman jari, rasanya seperti menakik karet dimusim penghujan. Sangat sulit bukan kepalang.
Barangkali, kelelahan yang teramat sangat telah menghinggapinya. Menunggu sesuatu yang belum juga ada tanda tanda jawaban.
Ia bercerita telah berkali-kali mengirim email lowongan pekerjaan. Berpuluh puluh lowongan ia jajal untuk mencoba peruntungan. Berpuluh-puluh kali ia kirimkan amplop coklat di kantor pos, berharap ada panggilan untuk seleksi kerja. Tetapi semua masih nihil. Tak jua Karjo putus asa. Tiap kali ia melihat surat kabar, maka pada kolom lowongan selalu ia lebarkan mata, berharap bisa ia coba untuk dilamar. Tiap kali berjumpa dengan seniornya, obrolan pembukanya adalah apakah ada pekerjaan yang bisa ia isi.

Hampir saban hari hidupnya selalu mengandalkan belas kasihan kawan, sungguh sangat menyedihkan. Sesekali ia makan dari kawan Slamet, merokok dari kawan Prapto, begitu jalan pun semua harus dibayarin kawan yang bersamanya. Sampai parkir dan memberi pengamen pun ia tak sanggup memberi. Sementara ia tidak berani pulang ke rumah. Karena begitu pulang langsung ditodong rentetan permintaan uang dari ibunya. Begitu kisahnya padaku satu malam saat ia menginap di lapak yang sekaligus kujadikan tempat tinggal.

Semua di luar rencana. Saya cukup berani untuk kredit motor begitu saya bekerja di Media Raya”.
Walau dengan gaji seadanya, saya fikir akan mampu bisa menyisihkan sedikit untuk mencicil.
Tapi ini di luar perkiraan.” Tambahnya.
Sungguh di luar rencana. Emak juga mengeluh akan uang saku adikku paling bungsu, Kuncoro.

Tunggakan tiga bulan dari Debt Collector motor adalah masalah baru baginya. Sebelumnya ia menjadi wartawan di Media Raya. Sebuah surat kabar harian baru yang muncul di kota kami, menantang raksasa raksasa koran-koran yang sudah ada lebih dahulu. Penghasilannya lumayan. Cukup kiranya untuk ia hidup di kota yang semuanya serba murah ini. Berjalan lima bulan, tiba-tiba semuanya berubah. Media Raya ambruk karena pemilik modal memilih melarikan modalnya ke bisnis lain. Bisnis perangkat seluler dan elektronik yang cepat dalam mencapai titik impas adalah pilihan Koh Siong di bulan ke enam.
“Owe kagak mau rugi lama-lama. Bikin koran untungnya lama, modalnya besar. Owe kagak kuat”

Maka terlantarlah sepuluh pekerja yang dulu bahu-membahu mendirikan bendera Media Raya. Termasuk si Karjo yang turut dalam perencanaan membangun usaha tersebut. Karjo hanya bisa pasrah dan berupaya mencari pekerjaan lain. Hingga hari ini. Ketika ia singgah di lapakku.

Sebelumnya ia sempat kerja sebentar di salah satu rental komputer di bilangan Gang Kabut. Membantu mengolah data dari mahasiswa-mahasiswa malas yang suka jalan pintas saat menyelesaikan tugas akhir. Ia bekerja selama tiga bulan. Membantu mencarikan pelanggan, membantu administrasi keuangan, serta sesekali ia juga turut serta mengerjakan mengutak-atik data melalui beberapa program SPSS, EVIEWS, SEM, dan AMOS. Hasil pendapatannya cukup lumayan rental komputer olah data tersebut. Saat gaji pertama ia dapatkan, ia pikir penilaiannya masih sebagai pegawai magang. Dengan asumsi barangkali akan naik di bulan berikutnya. Karena, saat itu ia menerima upah jauh dibawah nilai Upah Minimum Propinsi tempat ia tinggal. Upahnya hanya cukup untuk mengisi bensin motor kreditannya yang belum lunas, membeli pulsa, serta memberi Ibunya uang belanja sebesar seratus ribu. Saat memberikan kepada ibunya, Karjo hanya berujar, bahwa ia akan merapel di kemudian hari pada bulan berikutnya setelah ia menerima gaji untuk cicilan motornya. Ia masih berpikir positif bahwa Bosnya yang juga pintar bercipoa itu akan berbaik hati untuk memberi gaji layak di bulan berikutnya. Ia semakin rajin bekerja. Semuanya ia kerjakan dengan riang gembira. Bekerja lebih giat dan kadang melebihi jam kantor yang seharusnya ada. Berkali-kali ia mendapat pelanggan baru melalui lingkaran persekawanannya yang luas. Dari mulut ke mulut, dari cerita ke cerita ia mendapatkan konsumen.
Hingga bulan keduanya bekerja, ia sudah dikenal orang-orang sebagai ahli olah data yang kompeten. Berbondong-bondong klien datang mengantre untuk dikerjakan tugas akhirnya. Pekerjaan menjadi padat, dan menambah daftar pekerjaan untuk diselesaikan. Bosnya mulai kewalahan lantaran pekerja dirasa masih kurang sigap dan cekatan untuk menyelesaikan tenggat yang sudah ditetapkan. Pemasukan bertambah besar. Ia mencatat dalam pembukuan keuangan yang ia sistematiskan dalam jurnal akuntansi, pendapatan bersih sudah mencapai angka dua digit. Sungguh pendapatan yang luar biasa untuk usaha olah data yang hanya membutuhkan ketrampilan mengutak-atik software. Ia berharap saat gajian nanti, pasti akan mendapatkan tambahan rupiah untuk bisa ia bayarkan kepada ibunya yang beberapa kali mengeluh tagihan motornya menunggak beberapa bulan.
Hingga tiba saat ia gajian. Bosnya tersenyum riang kepada para karyawan pagi itu. Karjo pun memberikan senyuman terbaiknya setelah sebelumnya ia punya harapan besar akan mendapatkan lebih. Hingga tiba saat ia tanda tangan, rupanya angka yang ia tanda tangani masih sama dengan bulan kemarin. Maka, kekecewaannya kembali ia rasakan. Pahit, tiba-tiba rasa dimulutnya begitu ia membuka amplop putih dan menghitung isinya yang sama dengan bulan kemarin. Diulangnya menghitung, sekali, dua kali hingga ketiga kali dan nilainya tak jua berubah. Ia lemas seketika. Melangkah kaki pulang seperti langkah kekalahan tim sepakbola yang baru saja bertanding. Wajahnya sayu. Ia tidak tahu musti berkata apa lagi untuk menjawab pertanyaan ibunya terkait cicilannya yang masih tertunggak.
Keluarlah Karjo dari tempatnya bekerja tanpa pamit. Ia merasa tidak ada harapan untuk bisa menghentikan ibunya mengomel. Minggat dari rumah, setelah motor kreditannya ia kembalikan ke rumah dan tak lagi ia pakai.
“Aku malu memakainya Kab, walaupun aku dulu membelinya dengan uang muka hasil keringatku kerja satu minggu dengan orang saat ada proyekan besar”.
“Sekarang aku pilih jalan kaki atau naik sepeda butut itu saja”.
 Ujarnya sambil tertawa menunjuk sepeda jengki tua di depan kiosku.
“Sudahlah, tak apa. Hidup ini memang keras Jo, setidaknya kamu punya pengalaman tambahan untuk bisa kau bagi pada anak cucumu kelak.”
“Bahwa pandai saja tidak cukup. Harus ada tambahan keberuntungan”
“Kata orang Jawa kan wong pinter kuwi kalah karo wong bejo kamu hanya belum beruntung saja," sahutku menghibur.
“Kab, Sukab kau ini sih enak, punya usaha sendiri. Duitmu pasti banyak kan? Beberapa hari ini aku nginep tempatmu, tiap pagi sudah penuh orang mengantre mengambil majalah, koran untuk dihantarkan kepada pelanggan”
 “Alah Jo, wong ki wang sinawang apa yang kau saksikan itu tidak seperti yang kau pikirkan. Kamu kan ga ngerti juga bagaimana peningnya kepalaku kalo para pelanggan itu nunggak bayaran bulanannya. Mumet ndasku juga”.

“Teruslah berusaha Jo, kamu itu hanya kurang bertemu dengan orang yang tepat saja kok. Teruslah berusaha, nanti pasti ada jalan”.

Cerita semacam Karjo tentu tidak sedikit di negri ini. Data dari BPS bulan Februari 2012 yang dirilis salah satu portal berita online bulan Mei 2012, angka pengangguran di negri ini mencapai 7,61 juta atau sekitar 6,32% dari total jumlah penduduk Indonesia. Orang semacam Karjo itu pastinya belum termasuk hitungan, karena ia bekerja walaupun kebutuhan hidup layaknya belum tercukupi sesuai dengan skala penentuan Upah Minimum Propinsi. Tapi begitulah cerita hidup. Pungkas sang juru cerita mengakhiri dongeng. Aku terdiam tak berkata apa-apa. [.]

0 komentar:

Posting Komentar