Kamis, 25 Maret 2010

Guling


Kuhisap tembakau dalam-dalam saat sepi mengendap diam-diam
Mata mengerjap menyulam kantuk badan menggumam tiada tahan
Masih separuh yang harus kukerjakan!
Dua gelas kopi telah tandas, tak cukup mampu melawan mata ini mengatup
Aku kalah lagi,,,
dan memilih mencumbu pulas 
yang dari tadi mengulum senyum mesra di atas kasur

Selasa, 09 Maret 2010

Nol Kilometer


Sore hampir habis saat aku dan kamu membunuh waktu di sudut kota.
Hanya meletakkan pantat sebentar, melihat lalu lalang kendaraan berjejalan keluar dari jalan Malioboro. Tak ada lagi uang di kantong, hanya beberapa receh saja.
Sisa beli dua batang rokok di penjual asongan.
Kamu nyerocos panjang lebar. Aku cerewet menjadi-jadi. Aku berbicara, kamu menimpali. Tak jadi sebentar. Dua jam kurajam bersamamu. Bersama pengamen jalanan, penyair amatir, cerocos kiri kanan orang berbincang.
di bawah temaram lampu merkuri kota.
Dua anak kecil memungut kertas selebaran2 terabaikan di bangku panjang dan trotoar jalan yang tadi dibagi-bagi orang-orang promosi bertopeng Einstein

Senin, 22 Februari 2010

Berterik Keringat, Bersimbah Sengat


Tetes peluh keringat orang tua yang sebesar biji-biji jagung 
Berterik Keringat, Bersimbah Sengat saban hari.
Terbakar matari, terguyur hujan
diperas terus habis dikutip kampus untuk pendidikan bobrok.
Dosen tekstual yang berpihak pada sistem busuk
Tiap semester dipaksa bayar banyak untuk sesuatu yang semangkin lama semangkin ga jelas
Bapaknya yang petani, ibunya yang buruh,
bapaknya yang PKL, ibunya yang menambah uang belanja menjadi kuli gendong

Jumat, 01 Januari 2010

Kopiku Pahit Sekali Malam Ini


Tak seperti biasa,
Aku mencecap kopi pahit sekali malam ini.
Di hampir hingar bingar letusan kembang api, tiupan berisik terompet dan senyum terkembang dari mereka yang merasa akan bisa melampaui segalanya dengan suka cita…

SMS bertubi-tubi mampir,
Bilang: “Waktunya refleksi panjang kawan! sebelum letusan sosdor menghias langit”
aku tak merasa legit di cecap kedua
pada kopi kental racikannya.
Padal biasanya tak demikian
Sepi menghardik untukku larut bergelut bersama riang yang garang
ada yang membuatku berpikir begitu dalam malam ini
karena selepas hitungan mundur diteriakkan banyak orang menuju jam dua belas berdentang,
genderang perang pasar bebas AFTA dimulai

Senin, 28 Desember 2009

Aku tak Pernah tahu sampai…





aku tak pernah tahu sampai engkau mengabarkan padaku yang sesungguhnya.
aku tak pernah mendengar sampai kau mengorek telingaku yang tersumpal penuh kotoran
aku selalu buta, hingga kau membentang penglihatanku amat lebar..
kau paksa aku tahu yang SEBENAR-BENARNYA!
tentang busuk para politisi
hebatnya para pencuri,
tentang perselingkuhan politisi dan pencuri…
tentang negara di lapak obral,
di sampingnya makelar berkoar lebar…

Malari di Warung Kopi




Aku menulis di tengah bingar lantunan musip pop yang sedang in di warung kopi ini. Warung kopi yang sering kusinggahi begitu penat mendekap erat. Aku menulis ditengah-tengah anak-anak muda sekelilingku sibuk bersama perbincangan kecil gosip Luna Maya[1], kelakar lebar dengan senyum terlempar, dan benting kartu remi berjejer di tengah ‘kalangan[2]’.
Aku hanya mengingat ini akhir tahun 2009. Sebentar lagi tahun baru akan menjelang. Bulan Januari selepas Desember pergi berlalu. Tahun terpanas telah lewat dan aku tak tahu apakah akan terus memanas di esok setelah fajar 2010 menyingsing. Isu politik elit mencuat, akibat bola liar kasus Century[3]. Ah...entah lah! Aku tak urusan dengan konflik elit itu hendak menjungkit siapa, kemana...
Aku mengembara angan. Membiarkanya bertualang kemana-mana. Entah kenapa pikiranku tertumbuk pada kejadian-kejadin di bulan depan. Di bulan Januari yang akan dijelang.
Ah,, bulan Januari. Tempat sekian resolusi di pancangkan tinggi-tinggi. Tempat banyak kejadian dimulai.
Aku bertanya pada orang di samnpingku.
Mas, apa yang kau ingat di bulan Januari? ”
Ah...embuh lah aku ra ngerti. Sak ngertiku yo mung tahun baru[4]
Tak ada yang ingat selain gegap gempita pesta pergantian tahun. Lamat-lamat aku jadi ingat perdebatan kawanku beberapa tahun lalu. Mengenai kerusuhan besar di tahun 1974. Proyek Taman Mini Indonesia Indah, dan kejadian yang konon katanya membuat merah padam muka Suharto.
Aha..sepertinya aku layak menulisnya untuk catatanku awal tahun nanti. Mengenai yang terjadi di bulan Januari untuk sejenak menengok masa silam yang begitu kelam sebagai batu loncatan agar tak mengulang kesalahan. Juga sebagai pelajaran agar kita tak pernah lupa tentang sistematisnya penguasa membangun cara untuk terus melanggengkan kekuasaaan.
Mengingat kejadian tiga puluh enam tahun lalu, seperti membuka album kenangan lama begitu heroiknya anak muda untuk mengatakan bahwa keadilan musti ditegakkan. Terasa amat solid kekuatannya untuk menyatukan tekad bahwa perjuangan rakyat bukan sekedar slogan seperti yang dilakukan saat ini oleh orang-orang di Senayan. Kaum muda menoreh sejarah dengan tinta emas dengan turun ke jalan menyuarakan bahwa modal Jepang harus hengkang, Taman Mini bukan keperluan mendesak hingga harus mengalahkan biaya kesehatan yang tak terjangkau kaum awam.