Senin, 10 Februari 2014

Pada Secangkir Kopi Kamu Menggilirku

Aku menghabiskan kopi kesukaanmu lagi malam ini. Secangkir kopi Gayo yang sering kau pesan di kedai ini. Kedai favorit kita menghabiskan waktu di akhir pekan. Berharap bisa menghadirkan bayangmu yang kemarin, yang sekarang sudah menguap entah dimana. Pada setiap teguk, aku mereguk kenangan masa lalu. Kenangan tentang banyak hal yang sudah kita lalui bersama.
Terkadang, kita tak berpikir panjang. Dulu, saat usia kita masih jauh dari petang. Setiap lipatan waktu adalah mencipta cerita, mengubangi hal hal konyol yang membuatku menyungging senyum mengingatnya.
Saling membagi rahasia kecil, saling menyembunyikannya entah sampai kapan.
Bertukar tulisan, saling mengisi buku kecil yang berisi cerita kita, tentang apa yang kita rasakan saban hari atas sekeliling kita. Mendiskusikan buku yang selesai dikhatamkan, berdebat soal film sampai berjam-jam.

Tiap minggu selalu punya rencana baru. Menyusun agenda bareng seperti jalan-jalan, memasak dan berburu buku di loakan loakan antara Jogja-Solo, memunguti buku buku usang yang kadang lebih gampang dipahami daripada buku-buku sekarang.
Mendatangi ruang-ruang diskusi, mengunjungi tempat pameran di sudut-sudut kota, menyesap ilmu di tiap tempatnya.
Ah, kamu... Begitu manisnya cerita kita.
Begitu manisnya, hingga rasanya mengalahkan gula-gula terbaik dunia.
Cangkir kopi yang kusesap perlahan-lahan tandas bersama detik yang meranggas. Kenangan manis itu buyar tepat saat ponsel berdering minta ditempel ke dekat kuping. Sebuah telepon dari bos memaksa agar segera datang untuk tambahan pekerjaan yang menumpuk. Aku lupa mematikan ponsel. Seharusnya aku mematikannya sedari masuk kedai ini. Telepon barusan segera kuabaikan. aku tidak beranjak dari tempat semula. Memilih melanjutkan kenangan manis yang hinggap di tengah pengap lalu lalang kendaraan diluar kedai. Jalanan yang tak pernah lengang selama 24 Jam.

Dulu kita  selalu begadang hingga fajar memerah. Disini, di kedai yang selalu sesak oleh orang-orang yang membunuh waktu, menjemput pagi. Berbincang apa saja, menyala-nyala dan tak pernah tamat. Selalu bersambung di hari berikutnya. Seolah episode sinetron yang kejar setoran lantaran ratingnya terus menanjak. Selalu saja ada bahan obrolan karena sebelum masing masing kita pulang, ada gumpalan pertanyaan yang harus dicari jawabannya. Lalu begitu sampai rumah, acapkali masih juga bersahut-sahutan pesan singkat sampai salah satu dari kita tak menjawab. Terlelap.

Apa kabarmu hari ini? masihkah kau mencecap kopi yang sama?
masihkah kau melakukan hal yang sama dan tak kunjung bosan?

Aku masih sama. Melakukan hal-hal itu tanpamu. Sesekali dengan kawan kawanku, dan lebih sering sendiri. Bagiku, saat ini setiap kenangan selalu menyisa sesak diakhir lamunan. Pada setiap lamunan, selalu tersisip kamu di waktu yang kuhabiskan. Tiap akhir pekan masih saja selalu aku nantikan cerita kita di cerpen minggu, ataupun di blogmu. Tapi itu tak pernah ada. Bahkan di tiap twit dan update statusmu selalu aku nantikan berharap kamu menyeduh kenangan kita.
Tapi itu tak pernah ada. Barangkali, kamu telah menghapus ingatan tentang cerita kita yang begitu liar dan liat.
Bisa jadi, hari kemarin memang sudah tenggelam, padam bersama pilihan barumu. Bukankah kehidupan ini semua berubah? Kecuali, pilihan, prinsip yang akan selalu tetap menetap di ceruk terdalam masing-masing?
Ah sudahlah, ceracauku sampai sekian dulu. Kamu juga tak mungkin tahu bila kisah ini tentangmu.


2 komentar:

  1. :) kopi memang selallu nikmat karena rasa pahitnnya,,, angkat kopi untuk gilirmu tuan...

    BalasHapus
  2. yaampun, masih puitis aja mas renggo x)

    BalasHapus