Minggu, 24 Juni 2012

Selepas Hari Kemarin




Hampir malam di Jogja, ketika keretaku tiba...


Kereta yang membawa badanku perlahan menghentikan laju kecepatan. Petang menjemput dengan sapaannya yang khas. Kelelawar mulai berpencar keluar dari sela-sela atap stasiun Tugu. Matahari condong lebih dari 40 derajat ke arah barat. Bayangan tubuh sudah jatuh di timur, setelah enam jam perjalanan panjang dari kotamu. Ada sejumput harap yang kau pantik dalam dadaku. Pada damba akan balasan kedatanganmu ke kotaku di kurun berikutnya. Seperti kau janjikan dalam pesanmu, bahwa kedatanganmu hanya berangsur sebentar setelah aku pulang. Aku pun menunggu  dengan kerinduan yang terus tak pernah putus. 
Pada perjumpaan kemarin saat aku melawat ke tempatmu, kau menerimaku dengan segala jamuan hangat bagai seseorang pembesar yang teramat dinantikan. Termegah dan terbaik sebagai tamumu. Itu hari ulang tahunku. Kau memberi kejutan kue manis dengan potongan coklat penuh taburan keju putih. Sebuah buku kau kemas dalam kado berwarna merah. Aku buru-buru membuka bungkusnya yang cantik. Lima puluh gagasan besar  judulnya. Tentunya buku tersebut tidak dibeli di jualan bukusastranya Indrian Koto. Hmmm, kupikir kau begitu berusaha memberiku yang terbaik kurasa.
Aku singgah sebentar memang. Hanya semalam. Sekadar menjumpaimu yang merengek di tiap pesan-pesanmu yang deras seperti hujan di telepon seluler. Tanpa kecupan, tanpa pesan tambahan kau hantarkan aku ke stasiun keberangkatanku pulang. Ke Jogja, kota dimana kamu pernah tinggal sekitar empat tahun.
Penantian akan kedatanganmu pun berpangkal pada bosan. Mei menghampiri, merangkul dengan pagutan mesra tanpa henti. Hari-hari yang terlintasi sedikit demi sedikit memangkas pengharapan akan kedatanganmu, seiring pesan-pesanmu yang mulai jarang.
Hingga Mei beranjak tua, kau tak pernah datang seperti yang kau janjikan. Tidak menjadi soal memang. Karena kita sama-sama tahu bahwa hubungan ini tak layak diteruskan tanpa perlu penjelasan lagi. Kita sudah sama-sama tahu tanpa bicara. Kita sama-sama mengerti tanpa saling mendahului. Karena kita jatuh cinta hanya sekejap saja, tak perlu cakap, tak perlu kata, kita sudah saling tahu mengapa kita tak lagi terbakar mimpi. Kita sama-sama paham, mengapa kita tak lagi meruap-ruap dalam saling bertanya kabar, berbagi cerita, bertukar kenangan.
Memang harus dicukupkan. Tidak perlu diteruskan. Tidak usah dilanjut, agar kita menyimpan kejut untuk pilihan kita yang lain nanti.
Kita pun akhirnya sama-sama tahu ada yang keliru dari keterburu-buruan itu. Kesimpulan prematur untuk kita berdua, dan berujung pada hubungan kilat yang segera dingin lalu menguap kehangatannya. Semua serba cepat. Instan dan seolah itu adalah hal benar dari ketergesaan kita. Kita menjadi pribadi yang tidak matang dalam menimbang, lantas larut pada perasaan masing-masing yang sesaat. Kamu mengutarakan rasa, aku tak menampiknya. Segera rasa meluap pada cerita cinta. Aku tiba-tiba jatuh cinta kepadamu setelah sekian lama dari perjumpaan terakhir di kampus sewindu lalu.
Tidak ada penjelasan bersimbur darimu atas ketidakhadiranmu Mei itu. Kita sama-sama tahu. Selepas hari kemarin aku bertandang ke kotamu.

Jogja, 21 Mei

2 komentar:

  1. dalem banget iki dap, aku ngerti kui sopo... wakakakaka

    BalasHapus
  2. Sedalam apa bung? Sedalam jeroan po? Wakakakakaka

    BalasHapus