Sabtu, 07 Juli 2012

John Kecor, Dalang dari KOMIK



Perkenalan tersebut berujung panjang. Awalnya adalah provokasi pembangkangan untuk tidak mengikuti makrab jurusan, Sebuah acara wajib bagi mahasiswa baru sekitar delapan tahun lalu. Kalimatnya penuh hasutan berapi-api, menyerocos panjang lebar bahwa acara tersebut hanya sarat dengan perploncoan dan penuh penindasan bagi mahasiswa baru. 


"Ra penting acara ngono kuwi. isih kon mbayar wolung puluh ewu, ra sudi, larang!" 


ujarnya dengan mulut penuh asap rokok. Tangannya bergerak kesana kemari saat ia bicara, sementara di tangannya terselip rokok kretek yang terbakar separuh. Seperti aku yang juga terbakar separuh dengan kata-katanya. Aku sedikit takut saat ia mendekat kala itu. Perawakannya sangat intimidatif. jambangnya yang berantakan, rambut kriting gondrong sebahu, sementara pakaiannya sangat kumal. Kaos batik Beringharjo yang sobek di bagian ketiaknya.

Tak puas untuk terus ngompor-ngompori, ia lalu mengajakku ke burjo. Melanjutkan agitasi untuk tidak mengikuti makrab.


Ayo bung, kita ke burjo saja! sambil ngopi dan ngobrol lagi”.


Aku tak kuasa menolaknya. Ketakutanku teramat sangat padanya hingga membuatku tak kuasa menolak. Wah ini pasti preman benar. Begitu pikirku. Sampai di burjo ia malah mengajak  berbincang masalah lain lagi. Tiba-tiba ia menyebut berbagai kalimat-kalimat aneh dan menyodorkan beberapa buku yang ia keluarkan dari dalam tasnya. Mulailah topik negara, pendidikan, dan sekian rasionalisasi lain yang pada intinya sebenarnya adalah agar aku tidak ikut di kegiatan makrab yang diselenggarakan oleh kakak-kakak angkatan. 

Hari berikutnya senior-senior semakin gencar mendatangi kelas-kelas kami untuk mensosialisasikan kegiatan makrab. Kegiatan itu menurut para panitia adalah wajib hukumnya bagi mahasiswa baru. Bahkan kami ditakut-takuti bila tidak ikut kegiatan tersebut, akan kesulitan saat masuk pendadaran nanti. Lantaran sertifikat kegiatan tersebut katanya adalah syarat mutlak sebelum ujian pendadaran. Ujung dari kuliah yang kami tempuh nantinya sebelum kami resmi memakai gelar sarjana.  

Namanya Guntur Dwi Anggoro Pemuda berbadan buntal, bergigi kecil, dan sangat menggemari kopi dan rokok kretek. Kesehariannya sangat susah dipisahkan tanpa mengasup dua hal tersebut; kafein dan nikotin. Pengalamannya sangat banyak mengenai hidup yang keras. Ya, lelaki tambun ini memang banyak menghabiskan waktu di jalanan. Rekor pindah sekolah semenjak SMP hingga SMA pun diantara kami tidak ada yang mampu mengalahkan rekornya. Bila dirata-rata, tiap 3 bulan ia menghabiskan satu sekolah untuk di jajaki. Potret kebanyakan anak badung yang selalu bermasalah dengan pendidikan formal.

Sebenarnya saat 2003 ia sudah mengambil Jurusan Sejarah di salah satu kampus di daerah Mrican, tetapi karena mahalnya biaya kuliah akhirnya ia memilih kampus lain, kampus yang lebih murah diantara kampus swasta lainnya di jogja. Tahun pertama ia satu jurusan denganku. Tetapi di tahun kedua ia pindah lagi di jurusan berbeda yang masih dalam satu fakultas. Semangatnya untuk belajar dan perubahan yang patut dijadikan teladan dari lelaki satu ini. Ia selalu menasehatiku dengan hal-hal yang sederhana tapi cukup mengena di hati dan pikiran. Pernah satu ketika ia menasehatiku bahwa harusnya aku dapat lebih maju karena aku tidak pernah mengalami kendala saat sekolah dari bangku sekolah atas. Sementara ia, baru sadar bahwa pendidikan sangat amat berharga justru setelah ia masuk kuliah melalui peristiwa yang pernah keluarganya alami. Yakni lapak jualannya ibunya di gusur dari pasar. Itulah titik balik lelaki yang akrab dipanggil kecor ini.

 Dari dunia preman, John Kecor menjadi orang yang tekun untuk mencecap pengetahuan di bangku pendidikan. Ia adalah salah satu orang yang merintis Komunitas Mahasiswa Kritis atau KOMIK  di kampus kami. Sebuah kelompok belajar bersama yang merupakan Kelompok kuliah tandingan sekaligus jam SKS tambahan selepas kelas-kelas di kampus. Juga sebagai kritik atas pendidikan yang tidak berpihak, membelenggu dan tidak membebaskan bangsa dari situasi penindasan. Militansinya tidak pernah diragukan. Ia selalu melakukan improvisasi kegiatan di KOMIK. Mendatangkan pembicara, menggagas kelompok-kelompok kajian khusus, dari sastra hingga kajian ilmiah. Bahkan saat harus mengadopsi lembaga pers mahasiswa ia pun terlibat disana walaupun hanya sebatas  mobilisator. Ia adalah lelaki yang mudah bergaul, supel, dan mudah beradaptasi dengan cepat. Bahkan dalam situasi apapun ia cepat mengambil sikap. Hal yang paling kuingat adalah saat ia harus menyesuaikan diri begitu ada situasi di kemelut pemilihan presiden mahasiswa, dengan cepat ia tiba-tiba merebut mikrofon dan semua orang disana menjadi terdiam. Siapa pula ini? Begitu pasti pikir mereka. Mukanya yang tua saat itu menjadi tepat saat ia harus berakting seolah mahasiswa senior kawakan hendak memberikan pengarahan. Padahal, saat itu aku masih ingat bahwa ia adalah angkatan baru dengan penampilan lawas dan gaya urakan.

Tujuh tahun bersamanya sangatlah banyak cerita yang bisa kupaparkan. Tentang segala kelucuan, tingkah aneh, hingga peristiwa-peristiwa yang tidak diketahui oelh kawan-kawan lain. Tentang dandanannya yang tiba-tiba menjadi rapi hanya demi menaklukkan dosen pembimbing, Tentang semangatnya untuk belajar bahasa Inggris, tentang kesalahan-kesalahan pengucapan tetapi sangat pede untuk mengulangnya kembali dan mengoreksi cepat. Tentang saat ia jatuh cinta dengan seorang gadis yang ia hadiahkan sebuah cerpen dengan alur cerita Pacar Merah Indonesia yang ia sejajarkan sang tokoh dengan dirinya, hingga peristiwa saat wisuda yang harus kucing-kucingan dengan orang tuanya untuk bisa orasi penghabisan di akhir studinya. Semua orang pasti tidak mudah melupakan sosok pemuda bertato Dewi Kwan Im berpadu dengan ikan Maskoki ini. Saat ini John Kecor menjadi jurnalis di Jakarta pada salah satu televisi swasta nasional. John Kecor komunitas yang sama-sama kita dirikan sekarang sudah masuk tahun ke delapan John!  


0 komentar:

Posting Komentar