Minggu, 15 November 2009

Surat Untuk Cucuku di Hari Pahlawan

 gb
Dari kubur aku berseru, seruan lantang untuk kau terus berjuang tanpa pernah lelah meski situasi sudah berubah banyak. Aku ingat betul, seusiamu aku telah memanggul senjata. Bergerilya menyusur jalan setapak, menyerang sambil bersembunyi serta meninggalkan bangku sekolah demi Negri. Semua demi cita-cita merdeka dari belenggu penjajahan bangsa asing. Demi kemerdekaan, aku, kawan-kawanku, bersama yang tua, laki laki-perempuan terus menerus bahu membahu walau tak tahu kapan para penjajah itu pergi dari bumi pertiwi. Aku terus saja bergerak cucuku…
Hingga kemerdekaan itu akhirnya mampu terwujud. Soekarno-Hatta yang kudorong untuk berani memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945, walau harus melalui insiden kecil penculikan untuk memaksa. Pekik merdeka akhirnya kencang terlontar dari setiap bibir rakyat Indonesia! satu kelegaan yang luar biasa dari kami para pemuda.
Kuakui bahwa kemerdekaan kita adalah juga lantaran momentum kekalahan Jepang, sehingga setelah Jepang menyerah pada sekutu Belanda masih tak rela bila negri yang subur, serupa ratna mutu manikam ini berdiri sebagai negara merdeka. Hingga kemudian datang NICA membonceng sekutu.
Aku, kawan-kawanku, kami semua tak rela.
Jutaan nyawa rakyat kami yang telah melayang mulai dari abad 19 sebagai tumbal kemerdekaan pun tak rela. Sampai meletuslah perlawanan kami yang gagah berani demi mempertahankan negri. Sepuluh November 1945 di Surabaya seluruh pemuda, terus melawan tanpa henti yang berhasil membunuh Jendral Mallaby. Ya, di Yamato bendera merah putih berhasil dikerek tegak menjulang menantang langit. Itu kejadian tepat enampuluh empat tahun yang lalu. Aku masih ingat benar…betapa kemerdekaan sulit didapat.

Hanya saja ada yang masih mengganjal cucuku…dari kubur aku masih menyaksikan bahwa kemerdekaan seutuhnya kita belum juga terwujud. Kemerdekaan atas tanah air dan udara kita yang kini rasa-rasanya malah jatuh di pelukan orang-orang asing.
Semua sibuk bertengkar, sementara para elitmu selalu menakar, berhitung berapa banyak alat tukar yang didapat atas lego air tanah dan udaramu yang subur kaya tambang, jernih dan melimpah ruah hasilnya, serta luasnya tak terkira membentang dari ujung Sabang sampai Merauke. Semua sibuk bertengkar sementara sebagian yang engkau percaya―melalui mekanisme resmi―sibuk menghitung untung. Semua sibuk pada urusan remeh temeh sementara sebagian komprador sedang kongkalikong negoisasi laba. Semua diatur rapi Cu, seolah ini alami tapi sesungguhnya sarat kepentingan penyandang dana. Maka diaturlah melalui Undang-Undang dan peraturan yang lain. Mulailah liberalisasi muncul. Bidang ekonomi, politik, serta bidang lain. Tak pelak, rakyatmu menjerit. Lapangan kerja sulit, pendidikan mahal, Petani-buruh-kaum miskin kota hanya menjadi bulan-bulanan penindasan. Tak bertanah, upah rendah, digusur paksa oleh pemerintah. Pun demikian mereka yang mengadu nasib di negri orang…bukti kegagalan pemerintahmu membangun lapangan pekerjaan dan perlindungan terhadap warganya.
Aku sedih Cu, sedih bila anak muda hanya terduduk diam menerima keadaan tanpa berbuat apa-apa. Batinku tambah teriris bila merasakan apa yang pernah kulakukan untuk negri tak dilanjutkan oleh generasi kini.
Turunlah ke rakyat Cu, berbaurlah dengan mereka, pahami apa yang mereka rasakan. Kaum kecil yang untuk menyicil hidup saja kadang terang kadang redup. Katakan pada orang-orang di atas sana; “Jangan terus bodohi kami dengan retorika kosong! Dengan janji-janji palsu melompong”
Berilah tahu kawan-kawanmu yang sibuk dengan tugas kuliahnya yang ‘katanya’ benar-benar menyita seluruh waktunya, yang sibuk bersenang-senang masa muda dengan keringat orang tua, yang sibuk dengan rutinitas kosong tanpa mampu merubah Negrimu yang dibeli dengan tetesan peluh, airmata dan darah kakeknya, pendahulunya.
Ajaklah membangun organisasi untuk perjuangan rakyat. Untuk revolusi Indonesia Cu…untuk hari esok yang lebih baik. Jangan kau ajari mereka tentang hal yang pragmatis. Yang selalu membangun cita-cita untuk menjadi elit di sistem bobrok ini. Ajaklah turun dulu ke realita, Cucuku…agar mereka tahu beratnya bertahan hidup dikalangan bawah, mengerti dan memahami lalu bergerak membangun mimpi esok Indonesia sejahtera!
Aku tahu Cu, membangun harapan sulit. Aku tahu Cu, bahwa dari yang rusak kita harus membayangkan titik yang sempurna. Titik penegasan untuk membangun mimpi hingga kita mampu mewujudkannya….
Percayalah! Kalau kau yakin akan berhasil maka lakukan proses itu. Bertindaklah jangan hanya di pikirkan di angan. Di angan semua hanya terbenam kala kita tertidur pulas. Di angan hanya habis di perbincangan panjang orang-orang yang membunuh malam. Di angan hanya omong kosong tak berarti.
Jalanilah Cu…lakukan proses perlahan lahan…
Aku ingin berteriak Cu, seperti saat aku muda berteriak bahwa merdeka adalah mutlak untuk kita perjuangkan. Aku ingin berteriak! Walau yang kuteriakkan saat ini tentu jauh berbeda…
Aku menunggumu cucuku, untuk meneruskan apa yang pernah aku dan kawan-kawanku lakukan dahulu…mengenai kemerdekaan seratus persen…
Jerit dari nisan tak bernama di pojok Kusumanegara
Jogja, 10 November 2009

0 komentar:

Posting Komentar