Senin, 08 September 2008

Ekstra Parlementer, Masih Menjadi Jalur Perjuangan Kita.



Saya tidak mengerti apa yang menjadi jalan pikiran dari aktivis ’98…saya juga tidak mengerti apakah memang frustasi pada pergerakan memang menggejala akut disemua kalangan….atau memang profesi baru menjadi anggota legislatif lebih menjanjikan dibandingkan yang lain….semisal membangun kesadaran massa kita yang masih terlelap?Pikiran saya memerawang ke belakang. Ke jauh semasa saya masih duduk di sekolah dasar. Di bangku di mana suharto dikenalkan sebagai bapak bangsa. Sedang Golkar sebagai partai semuanya, sehingga mengapa kuningisasi wajib di setiap Agustusan. Dulu saya dengar dari guru saya kalau para aktivis mahasiswa(kala itu sedang marak di berbagai media) yang di kemudian hari saya ketahui adalah aktivis ’98, adalah orang-orang subversif berhaluan komunis yang mau merongrong Negara kesatuan republik Indonesia.
Di bangku kuliahlah saya mampu mencerna semuanya. Mengapa ‘98 gagal. Mengapa gerakan semakin terpolarisasi menjadi bagian-bagian kecil dan mudah dikonflikkan, hingga sayapun mengerti mengapa banyak yang jadi kelompok opportunis kanan maupun kiri yang tidak jelas, sampai mengapa frustasi atas situasi kaum gerakan(baca: aktivis) semakin menguat saja.
Saya membacanya dalam beberapa bagian. Yang pertama adalah tidak lagi percaya bahwa perubahan tak dapat berangkat dari jalanan, yang kedua realistis bahwa kekuatan oligarki harus ditunggangi walaupun nanti bakal dikentuti, serta yang terakhir adalah cari sesuap nasi untuk anak istri.
Jikalau kategori yang pertama, maka saya mengatakan itu adalah hal terbodoh dari orang yang pernah bersinggungan dengan teori social, serta berkecimpung di dunia pergerakan. Sebab satu sistem, seburuk apapun dari sebuah sstem dan kita berusaha untuk memperbaikinya, perlahan tapi pasti kita akan tergulung didalamnya seta larut dalam sistem tersebut. Mirip ceritanya dengan awalnya pak kades dituduh korupsi oleh warganya terkait uang perkerasan-jalan desa. Korupsi yang sistemik, seharusnya tidak menjadikan pak kades ini ikut-ikutan arus. Tetapi Karena ia tak mampu menampik, apalagi melawan, mau tak mau iapun turut serta.
Argument yang kedua. Kecil sekali kemungkinan orang berpikir bahwa ia masuk ke partai adalah untuk melakukan infiltrasi guna mengakses sekian jaringan serta sekian informasi rahasia dari partai. Atau bahkan merubah warna bejana dengan setitik noda yang ia tuang. Atau gamblangnya mengubah haluan ideology partai. Dari yang ga jelas menjadi revolusioner misalnya….(haha, yang bener ajah)
Kalau yang ketiga ini saya yakini sepenuhnya benar. Bahwa jaminan hidup menjadi anggota tukang “cocot” di negri ini amat tinggi nilainya. Gajinya mengalahkan gaji pekerja paling hebat secara kemampuan apapun. Padahal andil buat peradaban tidak ada sama sekali selain semangkin merusak tatanan Negara yang sudah tak keruan juntrungannya. Yah, pastinya krena kita dipimpin orang-orang keblinger.
Saya sendiri keluar dari mainstream dari ketiganya. Saya masih percaya terhadap kekuatan organisasi pergerakan. Kekuatan yang bekerja secara mandiri, secara semangat, serta secara kekuatan cita-cita bersama. Ideologilah yang merangkul kita untuk bekerja sama saling menjalin kelindan memintal seluruh benang untuk menjadi kain yang kuat. Menjahitnya menjadi kesatuan besar. Organisasi. Itu yang akan menjadikan kita kuat. Dan organisasi yang menjadikan kita belajar banyak hal. Dan di organisasi pula kita akan mengenal bagaimana loyal terhadap keputusan organisasi. Patuh, taat terhadap kekuatan pemimpin. Di organisasi pula kita siap memimpin, serta siap pula dipimpin. Sesungguhnya mental oportunisme nampak jelas dengan banyaknya avonturir di wajah perpolitikan kita. Seenak wudel nyebrang partai, seenak jidat pindah payung tanpa berpikir panjang ideologi apa yang dinaungi, hanya yang dipikir apa yang akan ia dapat…(huh menjijikkkan sekali)
Soe Hok Gie dahulu ia sempat putus asa melihat kawan-kawannya yang begitu mudahnya hijrah ke sekian partai yang memintanya singgah. Sampai-sampai ia menjadi intelektual yang kesepian. Sendirian, dijauhi mahasiswanya lantaran dinilai sok idealis,
Padahal kesalahannya hanyalah ia tidak menemukan organisasi sebagai wadah. Akibatnya sampai ia meninggalpun ia tak pernah tahu bahwa masih ada organisasi yang tidak berorientasi pada kekuasaan, tidak bekerja untuk politik praktis, serta giat membangun kesadaran kolektif massa rakyat
Tidak ada senjata lain yang lebih kuat selain organisasi!
Itu yang musti diingat untuk seluruh kawan-kawan…baik yang hendak mengenal pergerakan atau yang sudah malang melintang. Sebagai pengobar api yang mungkin hampir padam, sekaligus sebagai pemberi humus pada semangat yang tandus.
Seperti Soe Hok Gie yang sendiri. Tanpa organisasi. Itu tak ubahnya hanyalah seperti ide yang tak pernah terealisasi. Kenapa? Lantaran hanya sendiri. Selalu terhenti pada mengapa tak segera terjadi? Itu karena seorang diri. Selalu dan selalu bergulat dan beradu pikir dirinya sendiri tanpa melampaui satupun kerja menuju pergerakan. Yah, semua habis di dirinya sendiri….hiks.. :(
Kegunaan organisasi sendiri untuk apa, bagi kita? Saya mengutip dari salah satu sumber:
“Kegunaan organisasi yang permanen adalah untuk menyediakan integrasi timbal balik antara pemuda dan perjuan¬gan kelompok sosial lain (buruh, tani, kaum miskin kota) oleh para pelopornya secara terus menerus. Ini bukan sekadar kesinambungan yang sederhana dalam batas waktu tertentu, tapi sebuah kelanjutan ruang antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda yang memiliki tujuan kerakyatan yang sama. “
Makanya pesan terakhir saya adalah: “ Dan berserikatlah kamu supaya kuat!” belajarlah-belajarlah dan bealjarlah….senada dengan pesan ho chi min mengenai tugas pemuda. Ada tiga yakni yang pertama berorganisasi, yang kedua berorganisasi dan selanjutnya adalah berorganisasi![rd]link

0 komentar:

Posting Komentar