Senin, 01 Desember 2008

Resesi Global dan Imbas Ekonomi Indonesia


Oleh: Renggo Darsono
“Sejumlah Negara kini benar-benar bergerak menuju resesi”
Perlambatan ekonomi atau yang kita kenal sebagai slowdown sudah mulai melanda banyak Negara di dunia. Berawal dari Negara adi kuasa Amerika, efek domino menjalar ke seluruh Negara termasuk Negara kita, Indonesia. Apa pemicunya?
Tulisan ini kurang lebih hendak menjelaskan bagaimana resesi AS terjadi yang kemudian merembet menjadi resesi global hingga imbas yang dirasakan di Negara kita. Paparan ini jauh dari sempurna karena hanya berupa gambaran kondisi ekonomi global, nasional hingga local secara garis besar.
Neo liberal termakan ucapannya sendiri. Ketidak-konsistensinya mulai tampak disana-sini. Ideologi yang dicetuskan Hayek dan kawan-kawannya kini menghiba kepada pemerintah untuk memberikan campurtangannya. Tak kurang 700 M USD digelontorkan pemerintah AS untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan yang hampir kolaps melalui aksi bailout . Itupun masih belum mampu menjadi obat mujarab agar lekas sembuh. Beberapa ahli bahkan menyatakan krisis ini akan berlangsung antara 7-9 bulan ke depan.
Mengapa resesi bisa terjadi?
Setelah 1930, ini adalah resesi terparah yang berdampak cukup luas. Sungguh sangat berbeda dengan krisis ekonomi 1997. Krisis yang sempat melanda negri kita satu dekade lalu.
Resesi AS terjadi dipicu dari penumpukan hutang nasional hingga 8,98 Trilyun USD sedang PDB-nya hanya 13 Trilyun saja. Program pengurangan pajak koorporasi sebesar 1,35 Trilyun yang secara otomatis mengurangi pendapatan Negara. Disamping pembengkakan biaya perang dari Afganistan sampai Iraq setelah sebelumnya membiayai perang Korea dan perang Vietnam yang sangat luar biasa. CTFC atau Commodity Trading Futures Commision yakni sebuah lembaga pengawas keuangan yang tidak mengawasi ICE (inter continental exchange) sebuah badan yang melakukan aktifitas perdagangan berjangkajuga turut dituding sebagai penyebab krisis. Lembaga ini pula yang turut mendongkrak harga minyak dunia hingga mencapai 100 USD/Barrel. Factor selanjutnya adalah Subprime Mortage: kerugian surat berharga yang membangkrutkan Merryl Lynch, Goldman sachs, northen rock, UBS, Mithsubishi UFC. Serta yang terkahir adalah keputusan suku bunga murah yang kemudian mendorong spekulasi.

Alan Greenspan sang pendeta ekonomi dengan berbagai anjuran pun mengakui kekeliruannya. Bahwa resesi global ini dipicu oleh akibat amerika mengekspor bentuk hipotek yang sangat merusak seluruh dunia berupa surat berharga, opsi saham non transparan yang kemudian mendorong pembukuan buruk sehingga perannya sangat besar menimbulkan bencana yang konon paling buruk selama seperempat abad. Inilah krisis global “made in amerika”.
Indonesia?
Negara periphery /Negara pinggiran selalu saja menerima imbas dari apapun yang terjadi di Negara satelit /Negara pusat. Demikian juga Indonesia. Sesungguhnya jika kita cermat tanggap, maka resesi itu seharusnya tidak berdampak berat bagi kita. Tim Indonesia bangkit jauh-jauh hari sudah mengingatkan kepada pemerintah. Hanya saja pemerintah kita terlalu angkuh. Terlalu sombong untuk mengakui bahwa Negara kita ditopang financial bubble gelembung financial yang keropos dalamnya sebagai bangunan perekonomian.
Jika kita menengok ke Negara tetangga kita di kawasan asia, seperti Thailand, korea dan china, mereka begitu waspada dengan hot money alias modal jangka pendek berlebihan yang bakal mempengaruhi peningkatan nilai mata uangnya dan dengan segera ditanggulangi dengan beberapa resep. Hal ini dilakukan sebab ditengarai aliran hot money menyebabkan ekspor menjadi terhambat. Sementara di negri kita, dengan tenangnya mengatakan bahwa hot money tidak mempengaruhi kinerja ekonomi sama sekali. Memang kita harus jujur. Bahwa peningkatan ekspor dan cadanggan devisa kita lebih ditopang dari kenaikan komoditas dan hot money. Bukan peningkatan produktifitas produksi seperti Negara-negara lain. Ini dapat kita lihat dari indeks ekspor kita yang didominasi primer/sector alam sebesar 85%, 15%nya saja hanya manufaktur ringan seperti tekstil dll . Belum didominasi produk olahan dengan kebutuhan tinggi. Jauh berbeda dengan Negara korea selatan yang ekspornya ditopang oleh peningkatan produk olahan teknologi tinggi sehingga melawan habis-habisan financial bubble dengan resep meredam over heating dan menaikkan pajak transaksi pasar modal dan pasar uang.
Bisa dipastikan resesi ini juga bakal berimbas ke berbagai sector perekonomian di negri kita. Menguatnya dollar atas rupiah , disebabkan penarikan besar-besaran dollar dari bursa “virtual ekonomi” yang sesungguhnya di tempat kita begitu mudah menanam dan menarik investasi lantaran tidak ada aturan yang membatasi dari pemerintah sendiri. Jatuhnya harga saham group bakrie hingga level Rp.650 padahal sebelumnya menjadi primadona menembus sampai angka Rp.8750. sekali lagi, inilah proses ekonomi gelembung sabun yang besar bentuknya tetapi kopong didalamnya. Sayangnya hancurnya sector financial ini berdampak pada sector riil mulai industri manufaktur sampai Usaha Mikro Menengah Kecil (UMKM).
Gelombang PHK akan menyusul sebanyak 21.000 sementara 13.000 lainnya terancam dirumahkan setelah sebelumnya 800 buruh tekstil di Boyolali di PHK lantaran tak mampu lagi beroperasi. Biaya produksi yang meningkat, sementara pasar sepi dikarenakan tak memiliki daya beli. Bahkan sector kerajinan juga telah merasakan dengan pembatalan sekian pesanan dari Negara-negara tujuan ekspor seperti AS dan Eropa.
Investasi asing yang dikampanyekan pemerintah bakal meningkatkan perekonomian kita, rupa-rupanya tak menimbulkan efek positif sepenuhnya. Jika dari data “kontan” menyebutkan bahwa pada kuartal I tahun 2008 ini investasi asing telah melonjak 135% setelah UU PMA disahkan, alih-alih berpengaruh pada sector riil dengan menyerap lapangan pekerjaan, hamper sebagian besar investasi tersebut hanya berkutat di lantai bursa perdagangan berjangka dan berputar-putar disana. Bila pemerintah kita masih saja meyelamatkan pelaku perdagangan berjangka dan mengabaikan pelaku sector riil, berapa banyak pengangguran kita kan bertambah?
Bahkan bisa jadi angka kemiskinan sebesar 17% atau sekitar 36 juta orang akan meningkat tajam.
Jelas pengusaha sektor riil sedang butuh dana segar. Tetapi perbankan sedang tak bersahabat dengan suku bunga tinggi. Akankah kita berkubang kembali di krisis? Atau ini hanya kerikil tajam penghalang jalan, yang mudah ditepiskan?
Kita lihat saja keberpihakan pemerintah kita.[rd22118]
Sumber Bacaan:
“Kontan” edisi Jumat 22 November 2008
“Kompas”, Jumat 22 November 2008
detikfinance.com
tempo.co.id

0 komentar:

Posting Komentar