Jumat, 07 Desember 2007

Warung Kopi Code:Sumber Ekonomi Baru Di Tengah Derasnya Budaya ‘Ngopi’


Oleh: Renggo Putro Widyarto*
Bagaimana kita bisa berpikir bahwa ada warung kopi di pinggir jalan tanpa bangunan permanent sementara kita telah terbiasa dengan tempat kopi yang bagus? tetapi pengusaha kecil ini justru lebih jeli melihat situasi, melihat peluang pasar.


Jogja memang tak pernah berhenti melahirkan ide-ide besar dalam memandang apapun. Termasuk peluang. Dengan sekian predikat dari kota budaya, kota perjuangan serta kota pelajar menjadikan kota ini tak pernah berhenti menarik orang untuk berkunjung dan kemudian menetap. Sebagai kota pelajar, praktis banyaknya mahasiswa kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan budaya di dalamnya. Sebagai pendatang yang berasal dari seluruh penjuru tanah air, semakin menambah kekayaan karakter baru dari jogja. Indonesia mini bisa jadi tercermin dari kota tua ini.
Kita tentu telah banyak tahu mengenai karakteristik konsumen Indonesia yang salah satunya adalah suka berkumpul. Budaya ngopi, tak urung menjadi hal yang cocok bagi karakter konsumen kita. Berkumpul, berbagi cerita, melepas penat bersama teman-teman saudara dan handai taulan mau tidak mau selanjutnya dapat dikatakan adalah unsure latar belakang mengapa kemudian warung kopi begitu banyak bermunculan disini. Dahulu orang hanya mengenal ngopi di angkringan, kopi joss tugu, blandongan, atau bahkan di kafe-kafe seperti star bucks, excelso, J.Co. Tapi sekarang, kita hampir tidak mampu menghapal sekian tempat, saking banyaknya. Pergeseran gaya hidup semula bahwa ngopi identik di kafe dan harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit perlahan mulai terkikis dengan munculnya warung-warung kopi alternatif dengan harga bersaing. Hampir seluruh kalangan kini menikmati budaya ini, tidak lagi tersekup di kalangan atas, eksekutif muda dan kalangan bisnis.




Pertumbuhan warung kopipun tersebar di beberapa wilayah dari kawasan timur Jogjakarta seperti Gejayan, Babarsari, Seputaran Tugu, sampai wilayah-wilayah baru yang kini bermunculan. Blandongan, Kopi Plus, kedai nusantara, manut nite, mato dan lain sebagainya membuktikan bahwa konsumen kopi serta penikmat kopi terus berkembang. Fasilitas yang menjadi pendukungpun mulai bertambah, pilihan menjadi lebih banyak. 
Seputaran jalan di pinggiran kali code juga tak luput dari bertumbuhnya warung-warung kopi ini. Kawasan Kota Baru, tepat berada di tengah-tengah kota Jogjakarta. Kali code menjadi daya tarik lain bagi konsumen untuk melepas penat sembari beristirahat setelah seharian beraktivitas padat. Code yang dahulu terkenal kawasan kumuh semenjak ditata rapi oleh almarhum Y.B Mangun Wijaya kini menjadi kawasan ekonomi baru dengan warung kopi lesehan di sana. Ada sekitar 14 warung yang menyaji suguhan berbeda. Mayoritas adalah warung kopi semi permanent dengan gelaran tikar dan tenda plastik yang harus di bongkar pasang setelah selesai berjualan. Pengunjungnya tak kalah banyak dari warung-warung kopi lain. Bahkan di hari Sabtu sering menjadi sumber kemacetan jalan yang menghubungkan antara jalan Jendral Sudirman dengan Masjid Syuhada. 
Sebenarnya tidak terlalu luas tempat ini. Karena hanya menggunakan sisi kiri dan sisi kanan pinggiran trotoar yang sudah terbagi menjadi petak-petak kecil 8 meteran. Awalnya hanya ada 4 warung dengan 4 penjual saja, dan mengapa kemudian bisa berkembang adalah inisiatif dari pemuda warga Jogoyudan yang memetak trotoar jalan untuk di jadikan lahan usaha. Dari semula berjualan jagung dan roti bakar, kini wilayah ini lebih terkenal dengan tempat ngopinya. Bahkan petak petak ini sekarang malah sudah disewakan dengan harga berkisar 2,5 juta sampai 3 juta untuk perbulannya. Transaksi pemindahan tanganpun sampai pada harga 20 juta rupiah.
Inisiatif mendirikan usaha di tengah sulitnya lapangan pekerjaan patut kita acungi jempol bagi bagi warga ini. Pemberdayaan pekerjanyapun lebih banyak mengambil dari pengamen, pengemis dan gelandangan yang sebelumnya ada di sekitar wilayah itu. Mas Kuncung misalnya, pemilik warung poci mengatakan bahwa ia semula hanya menjadikan usaha ini sebagai sampingan dari pekerjaannya montir bengkel di dekat tugu. Tetapi kini telah menjadi sumber penghasilan utama keluarganya. Bersama 4 orang karyawan ia sampai kini eksis dan justru berencana hendak membuka usaha sama di tepat lain. Warga Jetis ini mengaku bahwa penghasilannya lebih banyak jika dibandingkan ia mengelola bengkelnya. Satu hari, ia mampu meraup sampai kisaran Rp.400.000 dan Rp. 700.000 pada hari Kamis sampai Sabtu dan hari libur. Angka yang cukup besar untuk skala usaha yang tidak memerlukan skill khusus karena sajian dari warungnya hanya berasal dari sachetan aneka kopi instant yang mudah didapat di toko-toko. Bahkan jika ada warung yang tutup ia mampu meraup sampai Rp. 1.000.000 semalam. 
Modal awal usahanya ia memerlukan dana sebesar Rp 3.500.000 dan ia mampu mencapai titik impas saat 6 bulan saja. Dua tahun lalu ia merintis usaha, kini ia telah mampu tersenyum bangga melihat perkembangan usahanya. Saat ditanya apakah ia tidak takut digusur mengingat usahanya berada di pinggir jalan ramai, ia mengatakan bahwa itu sudah menjadi konsekuensi di awal perjanjian dulu saat mengurus ijin. Menurutnya, di awal mendirikan usaha ia menandatangani kontrak di kelurahan yang mencantumkan bahwa jika nanti suatu saat diminta oleh pemerintah kota ia harus bersedia. 
Guna mengurus ijin tersebut Mas Kuncung mengeluarkan dana sampai Rp. 85.000 untuk di kelurahan. Ia juga rutin membayar retribusi sebesar Rp. 60.000, parkir kepada pemkot sebesar Rp. 25.000. Pengeluaran lainnya adalah uang listrik sebesar Rp. 30.000, titip grobak Rp. 20.000, air yang didapat dari SDN Ungaran 3 sebesar Rp. 20.000. Total pengeluaran perbulannya mencapai Rp,155.000. Itu di luar sumbangan-sumbangan tidak mengikat yang diminta oleh warga sekitar tambahnya. 
Saat ditanya mengenai mekanisme belanja untuk kebutuhan warungnya ia mengungkap bahwa ia biasanya belanja setiap hari. Semula mingguan tetapi karena dipandang sulit memanajemennya, kemudian berubah menjadi harian. Usahanya walaupun skalanya terhitung kecil tetapi menurutnya perlu manajemen juga. Inovasi juga harus selalu dilakukan agar konsumen puas dan bila mungkin bertambah. Menurutnya, semenjak manajemen di pegang oleh Fian mahasiswa semester akhir UMY, usahanya lebih rapi dan sering melakukan inovasi. Kecenderungannya justru dari penjual lain turut serta mengikuti apapun sajian-sajian baru dari warungnya. Memang warung poci Mas Kuncung ini berbeda dari yang lain saat kita singgahi. Dari gelas, rasa, serta pelayanan menurutnya berbeda dari warung-warung lain. Kami menjaga kualitas rasa, walaupun mungkin kita dagangannya hamper semua sama. 
Ketika kami tanyakan mengenai apakah ada paguyuban, Mas Kuncung mengatakan bahwa paguyuban itu sekarang berhenti. Dulu sempat ada dengan rutinitas arisan saat pelanggan sudah sepi. Tetapi sekarang berhenti karena beberapa penjual sudah ganti dan beralih tangan. Tetapi menurutnya kalau untuk simbolisasi ketuanya masih ada namanya Pak Gunarto. Seorang Polisi Militer aktif pemilik warung disebelahnya. Paguyuban ada hanya untuk legalisasi ijin dan sosialisasi jika ada peraturan baru dari pemkot tandasnya. Sebelumnya dahulu juga ikut mengatur pengamen, dan pengemis disini, tetapi sekarang sudah susah diatur.
Berkembang mengenai apakah ada pungutan liar, mas kuncung menceritakan bahwa kalau pungutan liar dari preman tidak ada, karena ketuanya sendiri dari aparat. Tetapi kalau kejadian dipanggil satpol pp pernah terjadi. Waktu itu tenda tidak di bongkar tetapi kemudian diambil satpol pp dan kami harus sidang serta mengeluarkan barang kami hingga Rp 200.000. itu tanpa teguran peringatan, semula kami tidak tahu. Tetapi satpol pp mengambil begitu saja. Menurutnya pernah juga kejadian didatangi laskar FPI, yang tiba-tiba membubarkan pengunjung. Tanpa koordinasi terlebih dahulu tiba-tiba FPI itu menyuruh pelanggan permpuan untuk pulang. Kami waktu itu takut, jadi tidak berani berbuat apa-apa. Kebetulan juga saat itu ketua paguyuban sedang tidak ada.
Mulai ramai pelanggan di Code adalah pasca momentum gempa. Sejak itu menurutnya konsumen mulai datang dan menjadi pelanggan. Tambah Mas Kuncung untuk segmen pasar kebanyakan adalah pelajar dan mahasiswa serta ada pembagian waktu dari masing-masing peanggannya. Waktu buka warung adalah pukul lima sore lebih banyak pelajar SMP dan SMA, agak malam nanti para mahasiswa, kemudian larut malam adalah orang-orang paruh baya. Warung biasa tutup pukul 2 serta menyesuaikan konsumennya. 
Peran pemerintah menurutnya tidak ada dalam merintis usahanya. Selain mengurus ijin dan membayar retribusi. Kerjasama dengan pihak lain juga tidak ada. Menurutnya ini semua murni dari dirinya sendiri. Pernah juga ia ditawarin untuk kerjasama dengan teh poci, tetapi ia menolak lantaran tidak cocok dengan kualitas rasa. Menurutnya kualitas rasa adalah hal utama bagi usahanya. Untuk trategi pemasaran ia lebih banyak menggandeng komunitas dengan mulut ke mulut. Menurutnya ini lebih murah dan efektif. Yang membesarkan warungnya hari ini adalah pelanggannya sendiri. Bukan siapa-siapa. Apalagi strategi promosi. Menurutnya sekarang kawasan ini jauh lebih rapi dibandingkan dulu. Karena dulu, kami berjualan seperti kenek yang harus memanggil pelanggan agar mampir. Rebutan pelanggan befitu terasa. Setelah sekarang, pembagian wilayah sudah ada.
Dinamika UKM seperti ini sesungguhnya tidak pernah goyah dengan gejolak politik di negeri ini yang terus terjadi. Bahkan di, besarnya badai krisis yang melanda Indonesia UKM masih mampu eksis hingga hari ini. Peluang usaha selalu ada untuk membangun ekonomi kita. Jika kita amati, orang-orang yang sukses luar bisa dalam bisnisnya terbukti menciptakan sesuatu yang baru. Menciptakan hal-hal yang sebelumnya belum pernah terpikirkan, dan kemudian sukses. Sebut saja Henry Ford, Kolonel Sanders, Bill Gates sebagai contoh. Usaha kopi ini juga menciptakan sesuatu yang diluar dari hal-hal yang kita pikirkan. Bagaimana kita bisa berpikir bahwa ada warung kopi di pinggir jalan tanpa bangunan permanen. Sementara kita telah terbiasa dengan tempat kopi yang bagus? tetapi pengusaha kecil ini justru lebih jeli melihat situasi, melihat peluang pasar.

0 komentar:

Posting Komentar