Minggu, 08 Juni 2008

Membaca ‘Kleting Kuning’ di Lain Kata


Renggo Darsono 
Ayu-ayu sisane si yuyu kang-kang
Yuyu-kang-kang juragan bakwan’
-Didi Kempot
-
Masih ingat cerita mengenai Ande-Ande Lumut? Dimana Raden Panji sebagai tokohnya menyaru mencari istrinya Dewi Sekartaji?
Masih ingat bahwa Panji menjadi anak dari Mbok Randha Dadap?
Sementara beberapa perempuan (Kleting) mengharap ‘di daup ’ jadi istrinya, dan ternyata yang terpilih adalah Kleting Kuning padahal buruk rupa serta tiada pesona?


Saya menjadi teringat lakon cerita itu ketika suatu hari saya mendengar lagu Didi Kempot di makan siang pada satu waktu. Entah mengapa dengan serta merta saya menghubungkan dengan kisah saya. Tentang sulitnya serta susahnya mencari perempuan seperti Kleting Kuning, yang rela menderita mencari suaminya yang mengembara tanpa satu kabar ceritapun. Bahkan kesetiaannya teruji lewat tokoh Yuyu Kangkang juga berhasil ia buktikan. Saat Kleting Ijo, Kleting Biru, Kleting Merah harus melalui rintangan untuk menuju rumah Mbok Randha Dadap yang terbentang air nan tinggi ia tak mau susah dan saat si Yuyu Kangkang menawarkan jasa membantu menyeberangkann dengan imbal satu kecupan mereka bertiga menyanggupinya.

Lakon ini mencerminkan bahwa perempuan yang mudah putus asa serta menyerah sekaligus simbol betapa tidak semua pasangan kita selalu setia serta berbakti pada penambat hatinya.
Sama seperti sekarang di era modern, silau harta, silau tahta, silau kehormatan, beramai-ramai mereka mengorbankan apa yang menjadi kehormatan. Demi dunia….
“Nde Ande, ande ande ande lumut…
Tumungkula ana prawan kang ngunggah-unggahi,
Prawane kang ayu rupane….
Kleting ijo iku arane ”…
Demikian berturut-turut kleting ijo, biru dan merah di tolak oleh ande-ande lumut lantaran ia tahu bahwa mereka adalah tipe perempuan tidak setia. Tipe perempuan yang mudah menyerah manakala mendapat hambat serta gampang kalah ketika musti menyelesaikan masalah.
Ande-ande lumut di jaman sekarang tidak selalu kemudian kita konotasikan dengan kelas atas yang menjelma dan menyamar dari perjaka kaya raya, tampan, cerdas lantas mencari pasangan tepat sebagai calon istri. Tetapi saya melihatnya dalam wilayah betapa gambaran mengenai sulitnya lelaki zaman sekarang mencari pasangan hidupnya yang seperti kleting kuning. Setia(tidak mau dibujuk yuyu kangkang untuk menciumnya sebagai imbal untuk menyeberangkan ke tempat ande-ande lumut berada), hanya berdandan untuk sang suami saja (dalam cerita ini ia ditampilkan buruk rupa serta tiada pesona dengan bau anyir yang kental ditubuhnya, tetapi sebenarnya ia adalah Dewi Sekartaji yang cantik tidak ada tandingan), rela menderita(dia rela ngéngér ,demi menempuh suaminya Raden Panji (dipersonifikasikan lewat ande-ande lumut) yang mengembara keluar dari istana), bermoral santun (ia selalu ditindas oleh para kleting, tetapi tiada pendendam)
Coba bandingkan dengan perempuan sekarang, yang banyak tidak setia, berdandan untuk khalayak ramai(seberapa tebal bedak tertanam, seberapa merah gincu melekat di bibir, seberapa wangi aroma membahana, seberapa “Wah-Wah” pakaian berbalut dimuka umum sementara dirumah berpakaian seadanya terkadang awut-awutan(mungkin ini juga yang mendorong lelaki bosan dirumah dan mencari pelarian) suami atau pasangan tidak menjadi istimewa), enggan susah dan menderita (simbol “matre” terlihat jelas. Perempuan akan menempel kepada siapa saja yang kaya harta, dengan bayangan besar hidupnya akan berkecukupan materi tanpa hidup kesusahan (padahal harta tidaklah kekal, adakalanya pasang-surut juga)), moral hanya bahasa kata, penghias kalimat yang terucap.
Memang demikian. Konstruksi berfikir masyarakat kita sedang dalam kerusakan di luar bawah sadar. Demikian terbentuk kuat dalam angan-angan banyak perempuan kita bahwa materi adalah segalanya. Hidup nanti yang menanggung adalah sang suami, serta enggan kerja keras dan malas berusaha. Asalkan dapat hidup enak. Sungguh sangat bertentangan dengan yang diusung Kartini kita. Juga menjadi lazim bila bertemu calon mertua maka pertanyaan mendasar dari sang mertua adalah, apakah engkau telah memiliki penghidupan, punya rumah, berapa kendaraan, serta apakah engkau sanggup tidak membuat anak saya menderita dalam hal ekonomi? Bukan mengenai karakter seperti apa calon menantu ia pahami sebagai penanggung anaknya nanti. Ukuran materilah yang menjadi panglima. Serta ukuran mapanlah sebagai jaminan anaknya akan senang.

0 komentar:

Posting Komentar