Rabu, 18 April 2012

Malari di Warung Kopi

Sudomo Mantan Pangkobkamtib

Mantan orang dekat Suharto,  yang juga pernah menjabat  Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Laksamana TNI (Purn) Sudomo hari Rabu 18/4 sekitar pukul 10.15 WIB meninggal dunia. Pendarahan otak yang dialami oleh orang yang melejit setelah operasi mandala ini, menjadi penyebab meregangnya ajal orang yang tidak mungkin dilupakan oleh para aktivis malari. Pensiunan Angkatan laut ini pulang ke haribaan yang maha kuasa dalam usia ke 86. Media begitu santer mengabarkan berita mengenai orang yang pernah menghabisi preman dengan operasi petrus  ini membuat saya teringat satu tulisan yang pernah saya buat untuk Media Tjorong Post sebuah zine yang pernah saya buat dan beredar di kampus tiap minggu dengan lembar potokopian. Tulisan tersebut saya sajikan di blog ini untuk bisa dibaca kembali. Memang saya tidak mengulas mengenai siap Sudomo sesungguhnya. Tetapi lebih mengulas pada peristiwa Malapetaka lima belas januari atau malari yang merubah arah generasi muda khusunya kalangan aktivis dalam tekanan akademik yang sangat amat membelenggu untuk berbicara mengenai situasi social politik di kemudian hari. Tulisan ini dibuat pada 5 Januari 2010  

  ...
Aku menulis di tengah bingar lantunan musip pop yang sedang in di warung kopi ini. Warung kopi yang sering kusinggahi begitu penat mendekap erat. Aku menulis ditengah-tengah anak-anak muda sekelilingku sibuk bersama perbincangan kecil gosip Luna Maya[1], kelakar lebar dengan senyum terlempar, dan benting kartu remi berjejer di tengah ‘kalangan[2]’.
Aku hanya mengingat ini akhir tahun 2009. Sebentar lagi tahun baru akan menjelang. Bulan Januari selepas Desember pergi berlalu. Tahun terpanas telah lewat dan aku tak tahu apakah akan terus memanas di esok setelah fajar 2010 menyingsing. Isu politik elit mencuat, akibat bola liar kasus Century[3]. Ah...entah lah! Aku tak urusan dengan konflik elit itu hendak menjungkit siapa, kemana...
Suasana kerusuhan malapetaka 15 januari yang dipicu oleh investasi Jepang
Aku mengembara angan. Membiarkanya bertualang kemana-mana. Entah kenapa pikiranku tertumbuk pada kejadian-kejadin di bulan depan. Di bulan Januari yang akan dijelang.
Ah,, bulan Januari. Tempat sekian resolusi di pancangkan tinggi-tinggi. Tempat banyak kejadian dimulai.
Aku bertanya pada orang di samnpingku.
Mas, apa yang kau ingat di bulan Januari? ”
Ah...embuh lah aku ra ngerti. Sak ngertiku yo mung tahun baru[4]
Tak ada yang ingat selain gegap gempita pesta pergantian tahun. Lamat-lamat aku jadi ingat perdebatan kawanku beberapa tahun lalu. Mengenai kerusuhan besar di tahun 1974. Proyek Taman Mini Indonesia Indah, dan kejadian yang konon katanya membuat merah padam muka Suharto.
Aha..sepertinya aku layak menulisnya untuk catatanku awal tahun nanti. Mengenai yang terjadi di bulan Januari untuk sejenak menengok masa silam yang begitu kelam sebagai batu loncatan agar tak mengulang kesalahan. Juga sebagai pelajaran agar kita tak pernah lupa tentang sistematisnya penguasa membangun cara untuk terus melanggengkan kekuasaaan.

Mengingat kejadian tiga puluh enam tahun lalu, seperti membuka album kenangan lama begitu heroiknya anak muda untuk mengatakan bahwa keadilan musti ditegakkan. Terasa amat solid kekuatannya untuk menyatukan tekad bahwa perjuangan rakyat bukan sekedar slogan seperti yang dilakukan saat ini oleh orang-orang di Senayan. Kaum muda menoreh sejarah dengan tinta emas dengan turun ke jalan menyuarakan bahwa modal Jepang harus hengkang, Taman Mini bukan keperluan mendesak hingga harus mengalahkan biaya kesehatan yang tak terjangkau kaum awam.
Pengekangan kebebasan pers (pembredelan beberapa mass media) dijalankan. Hal ini berimbas pada pengaturan berita di setiap media massa yang terbit. Alhasil hanya ada berita baik di Koran, hanya ada berita keberhasilan pemerintah di saluran televise TVRI. Masyarakat tidak diperbolehkan kritis. Hanya disuruh tuduk dan patuh.
Bila ada yang sedikit kritis dengan menentang kebijakan pemerintah, maka Tuduhan Subversif segera mampir pada pada orang tersebut. Dominasi militer begitu kental. Bahkan untuk ijin menyelenggarakan pengajian pun harus melalui KORAMIL.

Tetapi roda memang terus berputar, tak selamanya orang akan terus berada di atas. Semakin kuat tekanan dari penguasa rupanya semakin besar pula perlawanan mengerucut ke permukaan. Kekuatan itu akhirnya tumbang juga di sembilan delapan. Dan lagi-lagi adalah kaum muda yang menjadi pelopor.

Aku menulis di tengah bingar lantunan musip pop yang sedang in di warung kopi ini. Warung kopi yang sering kusinggahi begitu penat mendekap erat. Aku menulis ditengah-tengah anak-anak muda sekelilingku sibuk bersama perbincangan kecil gosip Luna Maya, kelakar lebar dengan senyum terlempar, dan banting kartu remi berjejer di tengah ‘kalangan’.




[1] Perseteruan artis luna maya dengan wartawan terkait tulisannya di situs jejaring twitter
[2] lingkaran; gelanggang:
[3] Kasus korupsi seniali 6.7 T yang melibatkan banyak pihak orang-orang penting
[4] Ah paling hanya tahun baru yang kutahu.
Sumber Gambar:
disini, disini dan disini

0 komentar:

Posting Komentar