Sabtu, 25 Juli 2009

Ketika Konsumen dianggap “Cemen”


Entah telah sekian banyak mungkin penjelasan, atau teori membangun loyalitas konsumen. Membangun pelanggan agar tidak lari dari dekapan. Mempertahankan sekuat mungkin agar pendapatan selalu ada. Dalam sebuah pendapat saya pernah menangkap bahwa hanya ada tiga saja dari kategori konsumen. Pertama adalah calon konsumen, lalu konsumen dan mantan konsumen.
Sebenarnya hanya hendak bercerita mengenai kekecewaan pelayanan dari sebuah tempat. Satu ketika saya bertandang untuk melepas pembicaraan bersama handai taulan, kawan, dan saudara jauh. Setelah berputar berkeliling memilah dan meilih tempat mana hendak melepas penat, diantero jalan Seturan daerah Selokan Mataram akhirnya berhentilah kami di sebuah warung kopi. Warung kopi ini termasuk perintis kemunculan warung-warung kopi di sekitar jalan ini yang mulai padat. Bak seorang anak kecil yang melihat temannya membawa kembang gula, serta merta ia juga tertarik akan kembang gula itu. Melihat para pemilik kopi itu menangguk untung lumayan, mereka lalu turut serta bermain merebut peluang.

Tiba saat kami memesan setelah meletakkan pantat di kursi panjang. Kulihat lalu lalang pelayan sibuk mengantarkan pesanan, dan ada yang sibuk mencatat di meja kasir.
Lama kami menanti. Berharap salah satu dari mereka ada yang mendekat sekedar menanyai kami mau pesan apa, tapi tak jua juga ada yang mendekat.
Atas inisiatif satu dari rombongan kami akhirnya kami mendekat ke salah satu pelayan yang duduk di meja kasir.
Tanpa rasa bersalah si Mbak (Pelayannya adalah seorang cewek)tadi hanya menyodorkan daftar menu dan secarik kertas serta sebatang bolpoin. Jauh dari rasa ramah.
Selesai memesan kami berbincang…ngalor-ngidul sampai kemana-mana. Daringrasani negara yang carut marut, sampai ngrasani pengunjung lain yang sama-sama sibuk dengan lawan bicaranya. Mengira-ngira topik apa yang mereka perbincangkan hingga mereka begitu asyik.
Kira-kira setengah jam pesanan kami baru sampai ke meja. Lumayan lama untuk ukuran pesanan 5 gelas kopi susu cangkir biasa. Karena kupikir menyajikan kopi di meja kami tidak butuh waktu lama untuk barista berpengalaman dengan jam terbang tinggi(warung kopi ini padat pengunjung).
Obrolan kami kemudian berlanjut. Panjang lebar masing masing dari kami bercerita. Maklum baru kali ini kesempatan berkumpul bersama saudara-saudara setelah sekian lama.Ya, di momentum nikahan sodaralah semuanya akhirnya bisa berkumpul.
Beberapa dari kami cangkirnya mulai kosong. Hingga kami kemudian memesan kembali sebagai teman perbincangan. Lalu mulailan pesanan kedua bergulir.
Kedai mulai ramai. Jam tangan menunjukkan Pukul 22.30. Masih jauh dari last order yang biasanya dimulai pukul 00.30.
Si Ucup pesen Teh tarik, Sukab pesan wedhang jahe, dan si Unyil pesan Roti panggang ukuran kecil.
Kali ini lebih lama ternyata. Topik perbincangan kita sampai tak terasa sepertinya mulai tiris. Mungkin karena sebagian besar dari cangkir-cangkir kami telah kosong. Sudah sejam pesanan kami tak jua datang. Padahal bayaran sudah lunas di muka.
Unyil mulai nggrundhel. Sukab mulai muntab, Sementara Ucup terlihat cemberut sambil berkata-kata.
Aku mendinginkannya. Sambil sok bijak aku katakan padanya untuk sabar sebentar. “Mungkin sedang singgah di dapur…tinggal diangkat kesini”…kukatakan demikian.
Lima belas menit kemudian Ucup, Sukab, dan Unyil benar-benar uda ga enak mukanya. yang lainnya pun uda mulai mengajak pulang. Mengakhiri perjamuan dan melepas lelah dengan merentang badan di atas kasur.
Unyil bilang apakah dapat dibatalkan pesanannya padaku. Lalu aku menjawabnya dengan melangkahkan kaki menuju meja kasir. Sambil bertanya pada Mbak Kasir yang masih juga sibuk mencatat(dari tadi mencatat terus…kira-kira nyatet apa juga aku ga tau…mungkin nyatet pendapatan ya?)
“Mbak bisa di cancel ga mbak pesanannya? untuk meja nomor 17 kalau misalnya belum dibuat, dicancel aja Mbak!”
“Oh,,sebntar ya mas saya lihat dulu di belakang…” sambil berjalan gontai mbak tadi menyibak tirai penyekat antara kasir dan dapur.
Tak berapa lama Mbak Kasir tadi kembali.
“Sedang dalam proses Mas, maaf kalau agak lama. Ni juga pesanannya menumpuk.”
Kembali aku ke meja. Sepertinya kesabaran Ucup, Sukab, dan Unyil sudah memuncak. Mereka bilang “Udah yuk, cabut ajah!”
“Lah trus pesenannya gimana? sayang kan buang-buang uang…tunggu sebentar siapa tahu datang ” seruku.
“Udahlah! kalau uang masih bisa dicari lagi. Tapi kalau perasaan tercabik?”
ujar Unyil sok berpujangga.
Sukab hanya diam. Tetapi tangan usilnya bekerja. Dituangnya sisa gula yang banyak ke masing-masing dari gelas kosong. Tercampur bersama sisa ampas kopi hingga kemungkinan besar tak bisa digunakan lagi.
Kami berlalu pergi begitu saja.
Kami pulang dengan sisa kecewa di masing-masing batin kami. Sepanjang perjalanan sampai rumah, kami lebih banyak terdiam.
Akupun sama terdiam merenungi serta sedikit sibuk berpikir. Membangun usaha itu sungguh susah. Tetapi begitu mudah untuk menghancurkannya. Kekuatan kekecewaan konsumen sampai sekarang aku yakini mampu menggulung kerajaan usaha apapun. Oleh sebab itu, menempatkan pelanggan, atau konsumen diatas segalanya adalah mutlak. Sampai-sampai ada ungkapan bahwa konsumen adalah raja. Serta adapula seloroh “Anda puas beritahu yang lain, anda kurang puas…beritahu kami” untuk menjaga kualitas.
Karena mereka tahu bahwa Kekuatan pemasaran dari mulut ke mulut lebih efektif ketimbang belanja promosi dan iklan besar-besaran. Satu kesalahan kecil yang terjadi tidak diperbaiki, akan menjadikan kerugian maha besar.
Mengap demikian?
Coba saja kita lihat apa yang terjadi bila pengalaman tidak mengenakkan ini diceritakan oleh masing masing dari kami. Perlahan dari kami, akan membentuk opini bahwa warung kopi yang sempat kami singgahi ini sungguh tidak mebuat nyaman. Praktis, secara otomatis opini itu kan terus terbentuk berulang hingga mejadi opini publik yang luar biasa. Sehingga referensi pilihan seseorang untuk ‘kongkow’ ngopi dengan serta merta tidak lagi meletkakan warung kopi tadi sebagai pilihan.m Bukankah itu menjadi bumerang yang merugikan warung kopi itu sendiri?
Seperti peribahasa: Nila setitik rusak susu sebelanga!

0 komentar:

Posting Komentar