Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Mei 2012

Konsep Kepemimpinan Astabrata



Pikiran jungkir balik. Kebohongan jadi kebenaran. Kepalsuan jadi anutan. Petaka! Petaka! Dunia jadi neraka. Harapan punah, manusia lahir untuk menjadi pendosa; astaga—tapi aku hanya medengarkan…             Negeri  Kabut: Seno Gumira Ajidarma

          Sabda pandhita ratu tan kena wola wali adalah konsep seorang raja yang berpegang teguh pada perkataannya sebagai undang undang negara. Raja tidak boleh sembarangan bersabda dan tidak boleh berubah-ubah. Konsep kepemimpinan di masa lalu sampai sekarang yang tidak pernah boleh berubah adalah bahwa seorang pemimpin tidak boleh berubah di dalam berkomitmen. Pantang tentunya hal tersebut bila dilakukan karena akan membingungkan para pengikutnya. Seorang pemimpin harus konsekuen melaksanakan dan mewujudkan apa yang telah dikatakannya. Masyarakat jawa menyebut pemimpin sejati sebagai orang yang bersifat “berbudi bawa laksana” yaitu teguh berpegang pada janji

Rabu, 18 April 2012

Malari di Warung Kopi

Sudomo Mantan Pangkobkamtib

Mantan orang dekat Suharto,  yang juga pernah menjabat  Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Laksamana TNI (Purn) Sudomo hari Rabu 18/4 sekitar pukul 10.15 WIB meninggal dunia. Pendarahan otak yang dialami oleh orang yang melejit setelah operasi mandala ini, menjadi penyebab meregangnya ajal orang yang tidak mungkin dilupakan oleh para aktivis malari. Pensiunan Angkatan laut ini pulang ke haribaan yang maha kuasa dalam usia ke 86. Media begitu santer mengabarkan berita mengenai orang yang pernah menghabisi preman dengan operasi petrus  ini membuat saya teringat satu tulisan yang pernah saya buat untuk Media Tjorong Post sebuah zine yang pernah saya buat dan beredar di kampus tiap minggu dengan lembar potokopian. Tulisan tersebut saya sajikan di blog ini untuk bisa dibaca kembali. Memang saya tidak mengulas mengenai siap Sudomo sesungguhnya. Tetapi lebih mengulas pada peristiwa Malapetaka lima belas januari atau malari yang merubah arah generasi muda khusunya kalangan aktivis dalam tekanan akademik yang sangat amat membelenggu untuk berbicara mengenai situasi social politik di kemudian hari. Tulisan ini dibuat pada 5 Januari 2010  

Selasa, 14 September 2010

Benarkah Ia Tak Berdusta?




Pernahkah anda merasa tertipu?di dustai berulangkali dan baru menyadarinya di kemudian hari?
di belakang waktu ketika semuanya bisa dikatakan telah terlambat?
Jika jawabannya sebagian besar adalah ia, maka berikut ini saya akan membagi informasi mengenai teknik-teknik untuk mengetahui kebenaran orang berbicara. Baik dari bahasa tubuh hingga bagaimana menghadapinya.
Teknik-teknik berikut untuk memberitahu jika seseorang berbohong sering digunakan oleh aparat terkait. Pengetahuan ini juga berguna untuk manajer, pengusaha, dan bagi siapa saja(termasuk rakyat agar tak melulu dibohongi politisi) untuk digunakan dalam situasi sehari-hari di mana mengatakan kebenaran dari kebohongan dapat membantu mencegah Anda dari menjadi korban dari penipuan.
Tanda-tanda Penipuan
Bahasa Tubuh:
• Tangan, lengan dan kaki ke arah gerakan tubuh mereka sendiri pembohong memakan banyak ruang.
• Seseorang yang berbohong kepada anda akan menghindari kontak mata.
• Tangan menyentuh wajah mereka, tenggorokan dan mulut. Menyentuh atau menggaruk hidung atau di belakang telinga mereka. Tidak mungkin untuk menyentuh dada / hati dengan tangan yang terbuka.
Isyarat-isyarat Secara Emosional &Pertentangan :
• Isyarat / ekspresi tidak sesuai dengan pernyataan verbal, seperti mengerutkan kening ketika mengatakan “Aku cinta padamu.”
• Ekspresi terbatas pada gerakan mulut ketika seseorang yang berpura-pura emosi (seperti senang, terkejut, sedih, kagum,) bukannya seluruh wajah. Sebagai contoh; ketika seseorang tersenyum secara alami seluruh wajah mereka yang terlibat: rahang / pipi gerakan, mata dan dahi menekan, dll
• Waktu dan durasi dari isyarat emosional dan emosi dari kecepatan normal. Tampilan emosi tertunda, tinggal lebih lama itu akan secara alami, kemudian berhenti tiba-tiba.
• Waktu berbeda antara isyarat emosi / ekspresi dan kata-kata. Contoh: Seseorang mengatakan “Saya suka ini!” ketika menerima hadiah, dan kemudian tersenyum setelah membuat pernyataan itu, bukan pada waktu yang sama saat pernyataan itu dibuat.
Interaksi dan Reaksi:
• Orang yang bersalah akan cenderung bertahan. Orang yang tidak bersalah akan sering menyerang.
• Seorang pembohong tidak nyaman berhadapan dengan penanya / penuduh dan dapat memalingkan kepala atau badan menjauh.
• Seorang pembohong mungkin secara tidak sadar meletakkan benda (buku, cangkir kopi, dll) antara mereka dan anda.
Konteks Verbal:
• Seorang pembohong akan menggunakan kata-kata Anda untuk menjawab pertanyaan. Ketika ditanya, “Apakah Anda makan kue yang terakhir?” Para pembohong menjawab, “Tidak, aku tidak makan kue yang terakhir.”
• Pendusta terkadang menghindari “berbohong” dengan tidak membuat pernyataan langsung. Mereka menyiratkan jawaban bukannya menyangkal sesuatu secara langsung.
• orang yang bersalah dapat berbicara lebih dari alam, tidak perlu menambahkan rincian untuk meyakinkan Anda … mereka tidak nyaman dengan diam atau jeda dalam percakapan.
• Seorang pembohong lebih sering memakai kata ganti seperti ”anu” atau “itu”dan berbicara dengan nada monoton. Ketika pernyataan jujur dibuat kata ganti ditekankan lebih sering daripada kata-kata lain dalam sebuah pernyataan.
Tanda-tanda lain dari pendusta:
• Jika Anda yakin bahwa seseorang berbohong, kemudian ubahlah topik pembicaraan dengan cepat, pembohong mengikuti sepanjang sukarela dan menjadi lebih santai. orang yang tidak bersalah bisa jadi bingung oleh perubahan mendadak pada topik dan akan ingin untuk kembali ke topik sebelumnya.
• Menggunakan humor atau sarkasme untuk mengalihkan topik pembicaraan
Catatan Akhir:
Jelas, hanya karena seseorang menunjukkan satu atau lebih dari tanda-tanda ini tidak membuat mereka pembohong. Perilaku di atas harus dibandingkan dengan orang perilaku normal bila memungkinkan.
Kebanyakan ahli mendeteksi kebohongan setuju bahwa kombinasi bahasa tubuh dan isyarat-isyarat lain harus digunakan untuk membuat dugaan pada apakah seseorang berkata jujur atau dusta.
Peringatan: Kadang-kadang Ketidaktahuan adalah kebahagiaan; setelah memperoleh pengetahuan ini, Anda mungkin akan terluka bila jelas bahwa seseorang yang berbohong kepada Anda.
*dari beberapa sumber*




Senin, 13 September 2010

Cara Berkomunikasi Efektif



Hampir sebagian dari kita sebenarnya dapat berkomunikasi. Hal ini bisa dibuktikan dengan jumlah kawan yang terus bertambah saban hari. Meluaskan pergaulan memang sangatlah membutuhkan bagaimana berkomunikasi yang baik.
Bahkan beberapa orang menyebut kemampuan berkomunikasi yang baik adalah kunci seseorang untuk menggapai keinginan terbaiknya. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam mencapai komunikasi yang baik?
berikut ini adalah ulasannya yang bisa kawan-kawan ambil manfaatnya:
1. Bicara dengan jelas 
Kemampuan berkomunikasi akan berdampak pada bagaimana orang-orang akan memperlakukan Anda. Mereka yang periang biasanya banyak teman, karena ia tahu bagaimana membangun pembicaraan.
2. Punya sesuatu untuk dikatakan
Jangan berpikir bahwa hanya karena Anda berbicara, orang lain pasti mendengarkan. Pastikan bahwa komentar Anda memang ada ‘isinya’. Jangan cuma jadi ‘ember bocor’.
3. Penuh pengertian 
Setiap orang punya latar belakang yang berbeda. Jadi, pembicaraan awal biasanya tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai orang lain. Anda bisa saja tidak setuju dengan rekan kerja, tapi masih bisa bekerja sama secara produktif.
4. Pengaruhi orang lain 
Dengan pendapat dan opini yang bermutu, Anda telah memberikan ‘warna’ dalam bersosialisasi. Hal ini akan mempengaruhi orang lain dan mereka akan menyukai Anda.
5. Selesaikan setiap masalah 
Konflik tidak selalu jelek. Setiap argumentasi bisa dijadikan bahan untuk solusi. Kalau Anda bisa, lakukanlah.
6. Tetap berkepala dingin 
Hati boleh panas, kepala harus tetap dingin, sudah biasa terdengar. Jadi, kalau Anda melihat ada orang yang memang senang cari gara-gara, mendingan jauhi saja dia.
7. Jangan takut untuk berubah 
Ada orang yang begitu keras kepala sampai ia tak mau berubah meskipun perubahan itu baik. Jangan sampai begitu.
8. Tidak ada “saya” dalam tim 
Banyak orang gemar membawa egonya dalam suatu team work. Semoga Anda bukan salah satunya. Jangan pernah lupa untuk memuji pekerjaan orang lain, mereka akan melakukan hal yang sama.
9. Berdirilah di tengah-tengah 
Memang agak sulit, apa lagi kalau Anda terlibat langsung. Tapi, paling tidak, Anda punya pendapat yang jernih bila ada suatu konflik. Cobalah ambil jarak dulu, supaya Anda bisa menganalisis sesuatu dengan akurat.
10. Miliki rencana 
Seperti apa pun dalam kehidupan, persiapkan diri Anda ketika akan bersosialisasi. Biarpun Anda spontan dan pandai beromongkosong, Anda harus punya patokan dalam proses berpikir ketika melakukan percakapan.



Kamis, 10 Juni 2010

‘Ngendat’


Sore tadi aku bertemu satu kawan bertubuh buntal, berambut cepak dengan brewok berantakan. Namanya Ketjor. Kawan lama yang tiada berjumpa setelah peristiwa itu. Peristiwa yang membekas kuat di ingatan kita masing-masing. peristiwa yang lebih mirip mimpi buruk panjang hingga kita menginginkan lekas terjaga dan menampar pipi kita bahwa ini semua hanya mimpi. Tetapi itu semua terjadi. Itu semua nyata dan kita benar-benar mengalaminya. ia bercerita panjang lebar tentang daerahnya yang merebak angka bunuh diri.
Tiada yang bertahan pada kenyataan, kemudian memilih jalan pulang keharibaan. Mati. Bunuh diri bahasa lazimnya.
Angka bunuh diri di negri ini makin lama makin meninggi. Tak salah lagi, kebutuhan ekonomilah yang menjadi penyebab utama dari ini semua.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti A Prayitno mengatakan, faktor penyebab orang nekat bunuh diri karena kemiskinan yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta penggusuran. Semua itu berpotensi meningkatkan depresi akibat bertambahnya beban hidup. “Dengan demikian faktor bunuh diri di Indonesia lengkap sudah,” ujar Prayitno.
Senada dalam buku ‘Pulung Gantung’, diceritakan bahwa banyak sekali motif orang mengambil jalan bunuh diri. Mulai dari alasan ekonomi hingga alasan perasaan seperti tekanan percintaan hingga hal2 lainnya.
Istilah bunuh diri memiliki beberapa pengertian antara lain: (1) bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri dengan menggunakan zat racun / obat yang mengakibatkan kematian, (2)percobaan bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri atau menggunakan zat yang tidak mengakibatkan kematian(3)tindakan bunuh diri adalah tindakan yang meliputi percobaan bunuh diri dan bunuh diri(4)pikiran bunuh diri adalah munculnya pikiran untuk melakukan tindakan bunuh diri lepas sampai percobaan bunuh diri, bunuh diri atau hanya sebatas pikiran saja. (hal 74)

Alasan orang melakukan bunuh diri:

(1)Frustasi
(2)Sarana Komunikasi non verbal untuk minta tolong
(3) Menghukum diri sendiri
(4)Penyatuan kembali kepada orang yang telah meninggal dan dicintai
(5) jeritan permohonan hidup atau;
(6) sebagai bentuk manifestasi dari sikap protes (Hal 75)

Darmaningtyas cukup gamblang menjelaskan bahwa alasan seseorang melakukan bunuh diri mulai dari frustasi atas situasi diri, hingga sikap protes seperti yang dilakukan oleh demonstran-demonstran di Korea. Menjadi menarik ketika Darmaningtyas juga memasukkan faktor penyatuan kembali dengan orang yang meninggal dan dicintai. Saat membaca bagian ini saya langsung teringat cerita “Sinta Obong” dimana dalam lakon tersebut Sinta Kekasih Rama memilih jalan untuk bunuh diri dengan membakar diri guna membuktikan bahwa dirinya suci dan belum ternoda oleh tubuh Rahwana.
Kembali ke cerita Ketjor. ia berkisah tentang kawan karibnya yang mati bunuh diri dengan melompat dari gedung tinggi lantai tiga pada sebuah kampus. Konon sebelum ia mengakhiri hidupnya, ia bercerita bahwa ia sedang dalam tekanan orangtuanya karena dijodohkan dengan tetangganya. Sementara ia sendiri sudah memiliki calon sendiri. Ironisnya si korban, kawan karibnya itu sebelum bunuh diri meminta maaf kepada seluruh kawan sepermainannya. Mulai dari yang sering ia usili, hingga yang amat baik padanya. Tak terkecuali ketjor.
Tak ada pikiran sedikitpun bahwa sikawan itu hendak mengakhiri hidupnya pada saat ia berkeliling meminta maaf, tetapi pagi-pagi kabar itu beredar bahwa sang kawan karib itu telah pergi dengan membenturkan diri di bumi dari lantai yang amat tinggi…
  gb

Jumat, 26 Maret 2010

Negeri Maling?


Sebenarnya malu aku harus mengabarkan kebenaran bahwa negri kita hari ini mayoritas dihuni maling. Di berbagai balutan kain, di berbagai tempat ia berteduh dan berpijak. Entah dalam pakaian seragam, entah pula dalam kesempatan yang ditangkap. Maling-maling itu semakin terang-terangan melakukan aktivitasnya. Bahkan semakin hari semakin cerdik. Memakai ilmu, memprediksi kemungkinan ketahuan lalu mengambil resiko terkecil dengan berbagai cara. Alhasil menyogok, minta becking, membeli intelektual agar melacurkan diri sekaligus membenarkan perilakunya atas nama pengetahuan, hingga menguasai media biar mengaburkan isu.
Jamak dan lumrah kita jumpai saban hari di negri ini. Cara-cara culas, ngeplang, menakut-nakuti, memeras, membunuh saksi, sampai kabur keluar negri.  Selalu saja orang kecil yang ditumbalkan. dikorbankan. Disuruh bayar upeti tapi kesejahteraan jauh panggang dari api. Nyaris tak ditemui, selain mendekati musim pemilu.

Senin, 28 Desember 2009

Malari di Warung Kopi




Aku menulis di tengah bingar lantunan musip pop yang sedang in di warung kopi ini. Warung kopi yang sering kusinggahi begitu penat mendekap erat. Aku menulis ditengah-tengah anak-anak muda sekelilingku sibuk bersama perbincangan kecil gosip Luna Maya[1], kelakar lebar dengan senyum terlempar, dan benting kartu remi berjejer di tengah ‘kalangan[2]’.
Aku hanya mengingat ini akhir tahun 2009. Sebentar lagi tahun baru akan menjelang. Bulan Januari selepas Desember pergi berlalu. Tahun terpanas telah lewat dan aku tak tahu apakah akan terus memanas di esok setelah fajar 2010 menyingsing. Isu politik elit mencuat, akibat bola liar kasus Century[3]. Ah...entah lah! Aku tak urusan dengan konflik elit itu hendak menjungkit siapa, kemana...
Aku mengembara angan. Membiarkanya bertualang kemana-mana. Entah kenapa pikiranku tertumbuk pada kejadian-kejadin di bulan depan. Di bulan Januari yang akan dijelang.
Ah,, bulan Januari. Tempat sekian resolusi di pancangkan tinggi-tinggi. Tempat banyak kejadian dimulai.
Aku bertanya pada orang di samnpingku.
Mas, apa yang kau ingat di bulan Januari? ”
Ah...embuh lah aku ra ngerti. Sak ngertiku yo mung tahun baru[4]
Tak ada yang ingat selain gegap gempita pesta pergantian tahun. Lamat-lamat aku jadi ingat perdebatan kawanku beberapa tahun lalu. Mengenai kerusuhan besar di tahun 1974. Proyek Taman Mini Indonesia Indah, dan kejadian yang konon katanya membuat merah padam muka Suharto.
Aha..sepertinya aku layak menulisnya untuk catatanku awal tahun nanti. Mengenai yang terjadi di bulan Januari untuk sejenak menengok masa silam yang begitu kelam sebagai batu loncatan agar tak mengulang kesalahan. Juga sebagai pelajaran agar kita tak pernah lupa tentang sistematisnya penguasa membangun cara untuk terus melanggengkan kekuasaaan.
Mengingat kejadian tiga puluh enam tahun lalu, seperti membuka album kenangan lama begitu heroiknya anak muda untuk mengatakan bahwa keadilan musti ditegakkan. Terasa amat solid kekuatannya untuk menyatukan tekad bahwa perjuangan rakyat bukan sekedar slogan seperti yang dilakukan saat ini oleh orang-orang di Senayan. Kaum muda menoreh sejarah dengan tinta emas dengan turun ke jalan menyuarakan bahwa modal Jepang harus hengkang, Taman Mini bukan keperluan mendesak hingga harus mengalahkan biaya kesehatan yang tak terjangkau kaum awam.

Siapa Pencuri yang Mencuri Keadilan…


Tergopoh aku datang ke kampus. Setelah pesan singkat mampir di ponselku. Sepatah kalimat mengabarkanku bahwa ada yang mencuri helm di kampus. Tertangkap, di massa serta kabarnya ia satu angkatan kuliah denganku.
Pos Satpam, 28 Desember 2009 sekitar pukul 15:39
Mukanya lebam. Membengkak di pipi kiri dan kanan. Darahnya bercucuran. Posisinya saat kujumpai ia setengah telanjang. Hanya mengenakan celana dalam.
Ia terbata bersuara menjawab pertanyaanku mengapa ia sampai seperti ini.
“Aku tak mencuri Nggo…hanya sedang tak bernasib baik. Helm ku hilang beberapa waktu lalu. Ketika aku melihat kembali helm yang serupa dengan kepunyaanku, inisiatifku segera menukarnya….”
Aku terdiam. Iba menyaksikannya meringis kesakitan. Mungkin sudah lebih dari belasan tangan dan kaki bersarang di mukanya. Aku tak bisa membantuny apa apa. Disampingnya kawannya dalam kondisi sama. Bengkak di mata kirinya, tapi masih saja banyak bicara. Tak pelak satu tendangan maut mampir di mukanya. Kaki bersepatu laras hitam mengkilat bersicepat mendarat.
Buk..Bukk… dua  kali tepat bersarang di rahang. Lirih ia mengaduh. Nyaris tak terdengar.
“Moga-moga urusan ini tak sampai Dekanat ya Nggo…aku takut kena D.O”

Kamis, 20 Agustus 2009

Menulis Efektif?


Menulis terlihat mudah tapi terkadang susah. Susah dipahami, sukar dimengerti, sulit diketahui pesan yang ingin disampaikan. Tak jarang diantara kita, termasuk saya menulis banyak hal dengan maksud menyampaikan pesan agar melakukan apa yang kita inginkan. Tetapi menjadi berbeda kemudian di benak pembaca dalam memahami. Praktis apa yang kita inginkan seketika gagal terealisasi.
Entah perasaan saya saja atau sebagian dari kawan-kawan juga merasakan banyak dari buku-buku sekarang lebih sukar dimengerti dikarenakan bahasanya sangat ilmiah-asing-penuh serapan. Mungkin saja kalau dipikiran saya sang penulis agar terlihat sok intelek, berpendidikan, serta sangar. Mungkin saja. Saya sendiri juga hanya menerka saja.
“Pada dasarnya Indonesia itu sedang mengalami dependensia politik serta kekuatan oligarki lama yang masih bercokol sehingga masih membelenggu segenap sendi kehidupan kita, disisi lain logika geertzian masi diamini oleh masyarakat kita”

Selasa, 11 Agustus 2009

Kita dan Cita-Cita


Kala kita bodoh, kita ingin menguasai dunia…
Kala kita pintar dan bijak kita ingin menguasai diri sendiri

-N.N-
Seringkali kita menganggap bahwa segalanya ingin kita taklukkan. Selama napas masih berpagut kuat, nyawa masih ada sekuat tenaga kita akan mencoba menguasai dunia. Ide besar kita, Gagasan besar yang hendak kita rentang sampai sampai semua maunya diterjang.
Sering kita lupa, bahwa untuk mencapai itu semua kita butuh awalan. Memulai dari hal kecil yakni menguasai diri sendiri terlebih dahulu. Berdisiplin menertibkan diri sendirilah yang terkadang sulit untuk dijalani.
Tak heran ada sebagian dari kita mencemooh orang-orang bergagasan besar, berapi-api itu sebagai orang yang banyak omong. Juga tak sedikit pula jatuh lantaran mendengar cemooh dari sekelilingnya dan tak mampu merealisasikan ide besarnya.

Punya mimpi itu boleh-boleh saja. Punya obsesi itu wajar saja sebagai manusia. Tanpa harapan, tanpa tujuan manusia tak ubahnya sebagai mayat hidup. Kosong melompong. Tak berarti hidup ini. Tetapi apakah menjadi wajar bila kita punya mimpi besar, punya cita-cita muluk sedangkan tindakan berbeda jauh?
Maka saya di awal pembuka tulisan mengatakan bahwa jika kita pintar maka kita akan belajar menguasai diri sendiri terlebih dahulu.
Yah, menguasai dari diri sendiri dahulu sebagai sumber perubahan. Baru secara setahap demi setahap menyicil impian kita agar terealisasi. Supaya terwujud sesuai keinginan. Sehingga bebasan Cebol Gayuh Lintang, Cecak nguntal empyak, Pungguk merindukan Bulan tidak dialamatkan pada kita.
Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk menebus itu?

Sabtu, 25 Juli 2009

Ketika Konsumen dianggap “Cemen”


Entah telah sekian banyak mungkin penjelasan, atau teori membangun loyalitas konsumen. Membangun pelanggan agar tidak lari dari dekapan. Mempertahankan sekuat mungkin agar pendapatan selalu ada. Dalam sebuah pendapat saya pernah menangkap bahwa hanya ada tiga saja dari kategori konsumen. Pertama adalah calon konsumen, lalu konsumen dan mantan konsumen.
Sebenarnya hanya hendak bercerita mengenai kekecewaan pelayanan dari sebuah tempat. Satu ketika saya bertandang untuk melepas pembicaraan bersama handai taulan, kawan, dan saudara jauh. Setelah berputar berkeliling memilah dan meilih tempat mana hendak melepas penat, diantero jalan Seturan daerah Selokan Mataram akhirnya berhentilah kami di sebuah warung kopi. Warung kopi ini termasuk perintis kemunculan warung-warung kopi di sekitar jalan ini yang mulai padat. Bak seorang anak kecil yang melihat temannya membawa kembang gula, serta merta ia juga tertarik akan kembang gula itu. Melihat para pemilik kopi itu menangguk untung lumayan, mereka lalu turut serta bermain merebut peluang.

Rabu, 03 Juni 2009

Ingatan Rendah, Kapan Kita Melangkah?


Mengapa kita selalu tertinggal jauh di belakang?
Apakah lantaran kita terlalu mengurus hal-hal remeh temeh yang tidak substansial?
Semakin hari kita semakin disibukkan oleh sesuatu yang tidak penting. Harus diakui bahwa ativitas tidak bermutu semakin lama menyambangi hari-hari kita tanpa henti. Tengok saja mulai kita bangun tidur. Apa yang akan kita lakukan pertama kali. Banyak diantara kita pasti segera mengecek ponsel memastikan apakah ada pesan singkat yang mampir, atau sekedar melihat apakah ada panggilan tidak terjawab. Kita selalu berpikir barangkali penting, barangkali mendesak. Selalu….diantara kita melaluinya.
Berseluncur di dunia maya pun demikian adanya. Dahulu mungkin kala biaya berinteraksi lewat dunia maya terasa memberatkan kantong kita, hanya sebatas mencari informasi yang kita perlukan. Membuka Tuhan Digital alias Google membaca surat elektronik dengan memilah dan memilih yang penting kemudian segera berlalu ke kasir warnet untuk membayar jasa operasi. Sekarang dengan murahnya akses internet yang ditawarkan sekian provider bersama kemajuan teknologi yang langsung terintregasi melalui ponsel kita, kita begitu betah berlama-lama menanggapi hal tidak bermutu. Mulai dari Update status ala facebook, beruntai gosip di YM, sampai memasang poto-poto “narsis” kita secara rutin. Tak lupa juga berbalas komentar kesana-kemari kepada teman, handai taulan serta kerabat juga teman dekat.
Betapa tidak produktifnya pekerjaan kita saat ini. Hanya membuka halaman olahraga di surat kabar harian, menekuni berita hiburan, serta sedikit melirik berita kriminal. Mengacuhkan tulisan-tulisan yang sarat akan muatan ilmu pengetahuan.
Praktis walaupun dikatakan sebagian besar dari kita melek teknologi dengan salah satu parameternya adalah dapat mengoperasikan internet tetapi ketika harus berbicara lebih mendalam mengenai sesuatu hal terkait keadaan kondisi terkini situasi negri ini, hanya ditataran permukaan saja mereka tahu. Itupun mudah lupa kabur bersama isu hari berikutnya yang menggempur kuat ingatan kemarin sore.
Ada satu pepatah mangatakan bahwa bila ingin mempunyai ingatan kuat, maka cobalah untuk menulis. Karena menulis tak ubahnya dengan membaca dua kali. Seperti juga kalimat bijak bahwa yang terucap akan kabur bersama angin, yang tertulis akan mengabadi. dan menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Jumat, 08 Agustus 2008

“Dadia Banyu Emoh Nyawuk, Dadia Godhong Emoh Nyuwek”




Bebasan jawa ini lebih sering diucapkan oleh mereka yang memutus relasi. Entah itu persekawanan, persahabatan sampai persaudaraan. Bagi saya jika sampai ada seseorang yang mengucap kalimat azimat ini adalah sebuah ila-ila yang pantang untuk ditarik kembali. Mengapa? Ini karena kalimat akhir pemutus tali silaturahmi. Biasanya orang yang mengucap kalimat ini adalah orang lelah lantaran dikecewakan atau telah dibuat sakit sebab sikap yang kalap. Saya tidak mengerti, tetapi saya pernah menjumpai suatu kasus senada. Tentang maaf yang tak mungkin bisa dilempar dan tentang salah yang tak mungkin bisa lagi diperbaiki.
Satu waktu ada seseorang yang bercerita kepada saya. Saya kemudian mengkategorikannya sebagai kasus yang sulit, rumit dan tak berani berkomentar. Bagi saya diam adalah jawaban paling tepat untuk bersikap. Mendengarkan adalah terbaik guna menelaah lebih dalam dari sebuah masalah.
Ketika itu seseorang bercerita bahwa ia pernah bertemu seseorang dan lalu menjadi intim. Tidak lagi hanya semata teman bicara, tetapi lebih. Lebih dari berbagi dari mulai sesuap nasi sampai materi melainkan sudah sampai juga pada wilayah hati.
Sebut saja dia Maneka. Bukan kekasih Sukab juga bukan saingannya Alina . Maneka wanita biasa saja. Seperti perempuan kebanyakan dari kota metropolitan.

Ya. Jakarta Raya. Ibukota Indonesia yang tak pernah berhenti mengeruk kekayaan dari belahan daerah lain di Indonesia. Maneka secara pribadi dibentuk oleh lingkungan liar dan liberal. Tidak ada kasih sayang dalam wujud perhatian melainkan uang menjadi jawaban atas bentuk tanggung jawab orangtua kepada anaknya. Ayahnya jarang pulang. Ibunya selalu safari arisan, bergiat sosial, padahal hanya kedok untuk bergosip, mencari kepuasan lain, biar dibilang sama-sama sibuk.
Tipikal manusia metropolis selalu berujung pada kesibukan dan menganggap dirinya hebat. Merasa super dengan uang yang ia miliki. Merasa semua bisa dibeli. Mulai dari kasih sayang, sampai ‘merajang’ orang. Demikian pula Maneka. Sifatnya menurun juga kepadanya. Menganggapnya hal itu adalah biasa serta lumrah . Hingga pada saat ia hijrah ke Jogja. Menggerus ilmu, mencari selembar ijasah, sepotong titel pengakuan dari dunia pendidikan tinggi.
Sifat itu masih terbawa. Merasa segalanya bisa diselesaikan dengan uang. Menggenggam semua orang berdasar lelembar alat tukar. Sampai suatu saat berjumpalah Maneka dengan Sukab. Pemuda berbadan gelap dengan segenap budi merekat. Pertama kali Sukab merasa bahwa sikap itu adalah bawaan dan bisa berubah seiring polah berlalu. Seiring kain basah mengering. Kedua kali ditolerir, ketiga mulai ditegur, hingga kempat sampai kesekian bilangan tak terhingga akhirnya berujung jengah, muak pada ujung persekawanan. Sampai Si Sukab berucap mantap sembari muntab ia berkata penuh marah lantaran lelah:
“Dadia banyu emoh nyawuk, dadia godhong emoh nyuwek!”
Saya menyayangkan sekali mengapa hal ini musti terjadi. Pun, juga saya merasa bahwa kesalahan manusia itu selalu muncul bersama tindakan yang dilakukan. Setiap kali bertindak, setiap kali itu pula salah akan sempat mampir. Hanya saja seberapa mampu kita belajar dari segenap salah yang meruah. Berbijaksana di hari nanti. Semestinya itu terjadi.
Pernah mendengar cerita mengenai ajaran moral seorang bapak kepada anaknya mengenai suatu perbuatan kesalahan kepada orang lain?
Satu cerita itu dimulai dengan seorang bapak yang bukan kepalang melihat anaknya yang selalu berbuat salah. Saat hendak mengingatkan kepada sang anak, si bapak berpikir mengenai kemungkinan-kemungkinan yang muncul dari tindakan yang akan dilakukan kepada sang anak. Sang bapak sangat takut bila dalam satu tindakan untuk mengingatkan anaknya akan berujung pada sebuah keputus asaan sang anak atau malah semakin ndadra dalam perbuatannya semena-mena berbuat salah pada setiap orang.
Syahdan, kemudian Sang Bapak bertutur pada anaknya.
“ Nak, lakukanlah apa yang akan kau lakukan. Apakah itu perbuatan baik atau buruk sekalipun. Bapak sama sekali tidak melarang. Sedikitpun.”
Sang anak mendengar komando ayahnya serta merta tertawa bahagia dan menyahut:
“Benarkah, Pak?Baik saya akan melakukan apapun yang saya mau. Tapi bukankah Bapak selalu mengajarkan kebaikan di setiap tempat Bapak berpijak?”
“Ya anakku. Bapak hanya berpesan satu hal kepada kamu. Saat engkau berbuat salah kepada seseorang, siapapun itu di muka bumi ini, maka kau cukup memberi tanda dengan menancapkan paku ke pagar depan rumah kita. Begitu saja”.
Sang anak mengangguk. Mengerti benar kalimat dari setiap ucap bapaknya. Maka iapun melakukan hal yang ia dengar dari petuah bapaknya. Setiap kali ia menyakiti orang, setiap itu pula ia menancapkan paku ke pagar depan rumahnya. Setiap kali ia menindas orang, menghasut, memfitnah, berbohong, menipu, berdusta, serta mengingkari janji, juga bersikap melecehkan orang, memandang remeh, sombong, takabur, setiap itu pula ia menancapkan paku dipagar depan rumahnya. Hingga tak terasa pagar di depan rumahnya telah penuh paku yang ia tancapkan berbaris rapi banyak sekali. Sampai ia bingung tak ada tempat lagi untuk menancap paku di pagar depan rumahnya.
“Apakah ini artinya saya tak boleh berbuat semaunya lagi ya?”
Pikir sang anak saat itu. Dalam kebingungannya itu ia kemudian bertanya pada bapaknya.
“ Pak, pagar depan rumah telah penuh tertancap paku. Hebat tidak Pak?”
“Anakmu ini. melakukan hal ini semua hanya dalah sebulan saja”.
Demikian sang anak berujar sambil tersenyum bangga.
“Nah, Nak…sekarang kau meminta maaf kepada semua orang yang pernah kau zalimi. Kau tempati salah. Lalu setiap kali kau minta maaf, setiap itu pula kau mencabut paku di pagar depan rumah kita”.
Benar. Sang anak melakukan semua daulat dari sang bapak. Ia pun berkeliling ke setiap orang yang pernah ia singgahi salah. Serta di setiap kesempatan itu pula ia menerbitkan maaf kepada mereka. Juga di masing-masing salah itu ia cabut paku yang menancap di pagar depan rumahnya. Sang anak merasakan beban yang demikian berat. Ia merasakan ternyata sangat sulit meminta maaf atas segala luput yang pernah berpagut. Tak seperti saat ia mlempar salah pada setiap orang. Di setiap sempat itu, ia tak jarang menjumpai bahwa kesalahan yang pernah ia lakukan ternyata sangat membekas hingga ia sulit sekali di maafkan. Namun karena ia telah bertekad bulat melakukan apapun perintah bapaknya, maka sekuat tenaga ia selalu mencoba untuk meminta maaf sampai semua orangpun akhirnya memafkan walau banyak pula yang membagi maaf karena terpaksa.
Begitu selesai ia melakukan tugas kedua dari sang bapak, ia pun bergegas kembali menjumpai bapaknya.
“Pak, telah kuselesaikan semua tugasku. Telah kulakukan mengelilingi semua salahku dan meminta maaf pada mereka. Dan telah pula kucabut setiap paku pada setiap salah yang kutebus dengan maaf di pagar depan rumah kita.”
“Lalu apa yang kau dapati Nak, dari pagar depan rumah kita sekarang?”
Tanya sang bapak kemudian.
“Kosong Pak!, sesuai perintah Bapak kan? Saya mencabut semua paku yang pernah saya tancapkan.”
“Kalau kau perhatikan kembali,….Apakah ada bekas yang kentara Nak dari pagar-pagar kita?”
Sang anak merenung sebentar. Sembari kembali mengingat dari tampilan pagar sesudah ia cabut dari paku yang ia tancap.
“Ia Pak. Terlihat sekali lobang-lobang paku yang pernah saya tancap. Pagar kita menjadi jelek karena dihiasi oleh lobang-lobang yang membekas.”
“Yah, itulah Nak yang terjadi saat kita membuat salah pada orang-orang. Walaupun kita berusaha sedapat mungkin melontar maaf kepada setiap orang yang kita nodai dengan salah kita, salah kita tetap membekas di hati orang tersebut. “
“Yah, seperti paku yang kita tancap. Setiap salah kita melobang hati mereka dan permintaan maaf kita tetap saja meninggalkan jejak.”
“Oleh sebab itu nak, berhati-hatilah menjaga sikap. Berhati-hatilah dalam berbuat. Serta jagalah setiap tindak-tandukmu saat berhubungan dengan orang lain.”
Sang anak terdiam. Sadarlah ia bahwa maksud dari Sang Bapak menyuruhnya untuk berbuat semaunya. Rupanya Bapaknya ingin ia belajar melalui kesalahan. Belajar melalui apa yang pernah ia lakukan. [rd] 
link