Tampilkan postingan dengan label Jualan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jualan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 Juli 2011

Buat Emak,


Teringat beberapa nasihat emak yang kuabaikan begitu saja. Barangkali ego mudaku memang susah terkendali. Hingga petuah demi petuah hanya mampir sebentar di gendang telinga, lalu pergi tanpa menyisa makna. Emak, perempuan paruh baya dengan keriput di wajah, dan uban yang bertebaran hampir di seluruh kepala. Kerutan dan putihnya rambut masing-masing mengurai cerita bagaimana membesarkanku, mengulur gaji Bapak yang terpotong cicilan hutang, kredit rumah, kas bon untuk keperluan mendadak berbagai bulan yang terlampaui.
Emak, pribadi yang luar biasa yang selalu tegar menampar kejamnya kehidupan kami. Pahitnya kesulitan demi kesulitan, beliau sihir menjadi manis dengan kerja keras. Ya, Emak adalah tokoh utama dari masing-masing sejarah kami. Dari lima bocah ingusan yang bodoh, malas, manja, dan tak punya sopan santun menjadi lelaki dan perempuan ulet pantang menyerah, cekatan dan tak pasrah badan. Emaklah yang memotivasi semangat kami, ketika kami nyaris putus asa dan mengurungkan niat untuk bersicepat. Ketika keadaan keluarga sangat berat untuk bisa bersekolah, Emak memutar otak untuk memanjangkan uang sisa gajian. Kami ingat betul saat Bapak harus pendidikan beberapa waktu. Emak mengajari kami mencari kayu, berdagang nasi untuk para kuli bangunan di proyek dekat rumah. Menggusur gengsi untuk berjualan buku tulis di SD, menahan diri agar tidak mudah jajan, beli mainan, dan sekian keinginan yang tidak perlu-perlu amat.
Emak mengajarkan kami untuk kuat berjalan kaki. Berhemat, rajin sembahyang, rajin belajar dan gemar membaca.

Aku ingat betul emak menjahit baju untukku hingga jatah tidurnya berkurang hanya supaya aku berganti baju muslim, setelah kuceritakan aku diejek tidak pernah berganti saat ngaji tiap sore di TPA. Emak juga sampai rela menahan diri tidak membeli gincu, bedak dan pakaian demi menyisihkan jualan berasnya biar terus berlangganan majalah Ananda.
Lain waktu Emak pun menabung seribu demi seribu saban hari supaya aku bisa ikut tambahan pelajaran di tetangga sebelah rumah, seorang guru cerdas yang baik hati.
Mak, maafkan anakmu Mak, bila belum dapat mengembangkan senyuman di bibirmu. Gelar ini sesungguhnya untukmu Mak. Sesungguhnya karenamu aku selesaikan pendidikan di institusi mahal ini. Kampus yang saat ini hanya peduli pada mereka yang kaya dengan pungutan yang kadang bikin anakmu ini meradang. Kampus dengan orang-orang berwajah pongah yang bangga dengan pakaiannya, tumpangannya, dan omongan besar siapa Bapaknya, siapa Pakliknya, siapa Pakdhenya.