Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Juli 2012

Sukarjo dan Problemnya

Debt Collector terus memburu cicilan yang tertunggak tiga bulan ini. Tidak banyak sebenarnya, hanya sekitar tujuh ratus lima puluh ribu. Tetapi cukup berat bagi Karjo yang saat ini tidak ada pendapatan sama sekali. Bisa kupastikan bahwa pikirannya saat ini sedang pening bukan main. Bahkan untuk pulang saja ia sudah tidak berani. Melangkah kaki ke depan, ke beranda rumah saja tidak ada nyali untuk ia lakukan. Lebih satu minggu ini ia hanya di jalan. Tidur dimana saja, dan makan dari teman-temannya. Entahlah, aku harus bagaimana, kepalaku sudah buntu untuk membantu keluar dari kerumitan Karjo. Kawan karibku yang kukenal semenjak aku pertama kuliah. Ia sesungguhnya orang yang sangat tulus dalam mengerjakan banyak hal. Tanpa pamrih ia kerjakan apapun yang sanggup ia kerjakan dalam membantu kawan. Aku sendiri dalam posisi masih merintis usahaku. Menjadi agen koran di pojokan kota Senja.  Mengandalkan bertambahnya pelanggan majalah atau koran di era digital dan internet yang saat ini mudah diakses dalam genggaman jari, rasanya seperti menakik karet dimusim penghujan. Sangat sulit bukan kepalang.

Sabtu, 07 Juli 2012

John Kecor, Dalang dari KOMIK



Perkenalan tersebut berujung panjang. Awalnya adalah provokasi pembangkangan untuk tidak mengikuti makrab jurusan, Sebuah acara wajib bagi mahasiswa baru sekitar delapan tahun lalu. Kalimatnya penuh hasutan berapi-api, menyerocos panjang lebar bahwa acara tersebut hanya sarat dengan perploncoan dan penuh penindasan bagi mahasiswa baru. 


"Ra penting acara ngono kuwi. isih kon mbayar wolung puluh ewu, ra sudi, larang!" 


ujarnya dengan mulut penuh asap rokok. Tangannya bergerak kesana kemari saat ia bicara, sementara di tangannya terselip rokok kretek yang terbakar separuh. Seperti aku yang juga terbakar separuh dengan kata-katanya. Aku sedikit takut saat ia mendekat kala itu. Perawakannya sangat intimidatif. jambangnya yang berantakan, rambut kriting gondrong sebahu, sementara pakaiannya sangat kumal. Kaos batik Beringharjo yang sobek di bagian ketiaknya.

Tak puas untuk terus ngompor-ngompori, ia lalu mengajakku ke burjo. Melanjutkan agitasi untuk tidak mengikuti makrab.

Minggu, 24 Juni 2012

Selepas Hari Kemarin




Hampir malam di Jogja, ketika keretaku tiba...


Kereta yang membawa badanku perlahan menghentikan laju kecepatan. Petang menjemput dengan sapaannya yang khas. Kelelawar mulai berpencar keluar dari sela-sela atap stasiun Tugu. Matahari condong lebih dari 40 derajat ke arah barat. Bayangan tubuh sudah jatuh di timur, setelah enam jam perjalanan panjang dari kotamu. Ada sejumput harap yang kau pantik dalam dadaku. Pada damba akan balasan kedatanganmu ke kotaku di kurun berikutnya. Seperti kau janjikan dalam pesanmu, bahwa kedatanganmu hanya berangsur sebentar setelah aku pulang. Aku pun menunggu  dengan kerinduan yang terus tak pernah putus. 

Senin, 09 April 2012

Perempuan Kemarin di Sudut Lobi



“Satu kisah terpendam
Mengukir relung hati yang terdalam
Rinduku padanya
Mengendap, ikhlas, pagi, siang, malam”
          Dialog Dini Hari-Senandung Rindu-



Kami tidak sering berjumpa. Hanya selintas bincang, kemudian putus pada jadwal jam kuliah yang cepat menyudahi percakapan. Kawannya adalah salah satu perempuan yang sempat dekat denganku tatkala itu. Aku mengenalnya dari sang teman tersebut. Tidak banyak. Hanya cerita mengenai bahwa ia menggauli buku dengan sangat intim dan punya koleksi yang lumayan. Sesekali cerita yang kudapat adalah keterangan bahwa ia salah satu aktivis gerakan kiri yang direkrut dari kelompok diskusi perempuan. Dandanannya menyiratkan apa yang ia yakini.
Itulah kesimpulan pertamaku mengamati penampilannya pertama kali. Sangat casual. Kemeja flanel kotak-kotak, celana jeans belel gelap dilipat ke atas, sepatu canvas serta potongan cepak dengan poni disisir acak. Pertama kali kalimat yang terlontar saat sebentar kami melumat cakap adalah mengenai sekian aktivitas yang ia geluti. Meluncurlah banyak referensi yang sibuk dikutip dari buku buku yang ia keloni. Sesaat ia menjadi teman diskusi hangat yang kilat.

Sabtu, 18 Februari 2012

Resep Jagoan Ibuku


Beberapa tahun lalu saya pernah menulis dalam judul 6 tahun yang lalu di tiap setengah empat pagi, tentang pekerjaan ibu saya menyambangi pasar demi pasar seantero Jogja, berjualan bolu untuk menambah belanja bulanan mencari tambahan menghidupi kami berlima. Gaji bapak tidak begitu cukup atas berbagai kebutuhan kami yang semuanya musti dipenuhi. Walaupun Bapak termasuk lumayan dalam jabatan dan kepangkatan di salah satu intitusi jawatan, tetapi kehidupan kami tidak seperti orang lain yang sepantaran dengan pangkat dan golongan yang Bapak sandang. Bapak selalu mengatakan kepada kami anak-anaknya, bahwa selama mencari uang Bapak sangat berhati-hati dan jangan sampai ada uang yang tidak halal masuk mengendap di darah kami, tumbuh menjadi daging. Tidak Barokah kata beliau.

Rabu, 15 Februari 2012

Ke Barat Mencari Kembang yang Hilang


Si lelaki begitu percaya diri. Melangkah gontai di tanah basah sehabis hujan menyiram bumi. Aromanya yang khas dihirupnya dalam-dalam seakan aroma wangi yang sulit dicari. Mendongak kepalanya seperti khawatir mendung akan datang kembali menjadi payung perjalanannya yang masih separuh. Ke barat arah yang hendak dituju. Ke tempat kembang Wijayakusuma tumbuh di puncak gunung kawah menjilat jilat. Adalah Sang Ibu menitahnya untuk mencari kembang yang konon berkhasiat dahsyat melumat banyak penyakit. Selain juga untuk pegangan memancarkan wibawa, kharisma, serta beraneka rupa manfaat lainnya.
yang terakhir itu ia tak begitu percaya. hanya semata-mata kehendak berbakti pada sang ibu saja yang membuatnya bergerak. Ibunya adalah sosok yang paling ia hormati, pendidik awal sebelum guru, pengajar handal sebelum gigi susunya total tanggal.
"Nak, kau sudah cukup umur. Waktunya kau menguji ilmumu yang kau reguk selama ini. Pergilah ke barat. Petiklah kembang wijaya kusuma untuk bekal hidupmu. " begitu pesan ibunya suatu petang selepas adzan magrib berkumandang. Sebenarnya ia tidak begitu tahu apakah masih ada atau tidak kembang wijaya kusuma itu saat ini. Sebab ia hanya tahu dari kisah pewayangan yang sempat ia cerap di buku-buku perpustakaan. Tentang senjata Kresna, mengenai Dewi Pratiwi yang memasang syarat calon suaminya harus memiliki kembang sakti tersebut. Lakon tersebut merupakan kisah dari Sri Wisnu krama. Kresna yang merupakan titisan wisnu di kisah lain juga menyandang kembang tersebut untuk menghidupkan orang yang telah mati.

Selasa, 08 November 2011

Sesal


Penyesalan buat A; pada perjumpaan enam tahun lampau


aku temui huruf, maka menjelma kata kata,

tapi tak pernah bisa merangkai lirik puitik
untuk kubariskan tentangmu,
aku jumpai malam, maka kubaca petang berjalan menuju terang,
tapi tak pernah dapat menuang
terang di singkap rasaku

Ah...barangkali tak cukup kata dalam berbagai bahasa untuk
mengagumimu.
Tak cukup nyali mengurai telaga renjana menjadi
kerontang.





Nologaten,
04-11-2011
01:40

Sumber Gambar 

Minggu, 23 Oktober 2011

sandal sundal

memang mereka hanya sepasang sandal sundal
lapik kaki bagi orang yang malas tersentuh tanah,
ogah terpercik tahi, tersenggol beling
juga besi karat berupas tetanus.

meski berguna, lebih sering diabaikan bila sepatu sudah mengikat kuat
melindungi tapak tungkai hingga batas mata kaki.

sandal sundal hanya dicari bila tak ada lagi pelindung kala penyangga tubuh melangkah ke halaman rumah

tak sampai jalan dikenakan,
tak sampai halaman tetangga bahkan.
hanya disimpan bersama tumpukan barang usang

begitupun dengan engkau dan dia.
tak lebih lebar mata memicing memperhatikan.
tak seperti kamu memandang barang di keranjang obralan di pusat pertokoan

jadi gunjing bila senggang,
bahan banyolan panjang sambil cekikik sana sini

sepasang sandal sundal tampat maki segala maki singgah tercurah

sumber

Minggu, 18 September 2011

September Tahun Lalu


Aku habiskan waktu bersamamu kawan, dalam berbagai kisah yang tak pendek untuk diceritakan kelak pada mereka yang mengulik jejak kita. Kita biasa menghabiskan waktu di warung kopi. Bersama obrolan hangat secangkir kopi dengan untaian tema yang tak pasti. Terkadang kita ngrasani banyak orang. Terkadang kita mencibir, memaki, dan berandai-andai mengenai banyak hal. Kau begitu senang menanggapi semua omonganku. Aku pun riang saat ada yang membalas obrolan pembukaku. Kita saling bercakap-cakap sampai bergelas-gelas tandas, sampai matahari pagi menyengat di ubun-ubun kepala kita.
Banyak hal yang aku kagumi dari dirimu dalam hidup. Tidak ada keterbatasan yang kau anggap sebagai penghalang mu untuk maju berkembang. Keberanianmu begitu kuat terbenam di kepala dan sikapmu yang terus kujadikan muara untuk belajar. Kau sering diam saat aku paparkan beberapa hal. Menyimak penuh cermat, lalu menelaah dalam-dalam.Terkadang tak cukup sebentar kita tukarkan kabar dan cerita. Satu hal yang membuatku terhenyak kagum padamu adalah saat kita bersama ke Jakarta. Merapat di ibukota untuk menghadiri agenda hari agraria.
Kereta yang kita naiki begitu sarat muatan penumpang yang kembali setelah puas melepas rindu pada kampung halaman, pada handai taulan saat lebaran. Kau dan aku serta dua orang kawan kita berdiri hingga Bekasi. Tiada lagi kata-kata yang kita lontarkan selain wajah kita yang menunjukkan lelah yang amat sangat. Kita berdua sama-sama bertubuh kecil. Hampir dua belas jam terhimpit di sela-sela ketiak pengikut ular besi ekonomi. Angkutan rakyat pilihan orang kebanyakan seperti kita. Tidak bisa bergerak, memindahkan kaki, atau bergeser sekedar mengguritkan sendi, mengusir pegal yang merambati tulang-tulang. Kau tidak banyak mengeluh.bahkan saat seseorang bertubuh gempal menyandarimu ketika kantuknya tak mampu ditolak. Tidak ada protes yang kau muntahkan.
Kita tiba tepat ketika azan subuh berhenti. Dua kawan yang menjemput sudah menanti sedari pukul empat pagi. Kukatakan bahwa kereta terlambat tiba karena berhenti lama di stasiun Cirebon. Kubakar rokok yang tersisa di saku celana. Kutawarkan padamu tapi kau menolak. Kau hanya minta seteguk air. Kusodorkan segera botol air mineralku yang sisa setengah. Sebentar saja kau tenggak tanpa sisa.

Jumat, 19 Agustus 2011

Sepertiga Malam

Sepertiga malam yang memabukkan.
Karena aku terjaga mereguk nektar bayangmu. 
Sepertiga malam menjelang fajar menyingsing,
Singkaplah hatimu agar menjadi terang [padaku]...

Seandainya saja keberanian itu mampu dimuntahkan saat itu, barangkali tidak ada penyesalan mendalam dari keseharian Gaung  meniti hari. Kesalahan yang tak termaafkan atas sikap pengecutnya di masa lalu. Dipecundangi ketakutan, dikalahkan oleh kecilnya hati, minder tak ada rasa percaya diri yang kuat. Entah menguap begitu saja begitu sederet kalimat akan dia ungkap dihadapan Sekar Ungu; perempuan idamannya, kandas menjadi tapak yang tak berbekas.
"Tunggu aku di kotamu. Setelah purnama kedua ini usai,"
"Utarakan maksud hatimu agar menjadi terang padaku.." begitu balasnya dalam pesan pendek.
Gaung di atas angin.Ada kesempatan yang diberikan untuk menjelaskan perasaannya yang tumbuh berkecambah dan perlahan mulai beranjak menjadi besar. Berhari-hari ia menekuri kamus besar bahasa Indonesia, Membolak-balik kamus tesaurus guna memilih lema paling tepat agar kata-katanya tidak seperti lelaki kebanyakan saat menyatakan maksud hati kepada perempuan sanjungan hatinya. Tidurnya tak lagi nyenyak. Bila terbangun tiba-tiba sesegera  ia menatap kalender yang terpampang di dinding kamar.

"Ah, masih lama.. kapan kah tiba hari itu?"
Kalau sudah seperti itu ia susah kembali untuk melanjutkan tidurnya yang terpotong.
Demikian hal tersebut terjadi terus menerus hingga ia merampungkan satu jilid buku tulis tebal. Tiap kali ia sudah susah tidur, memang pelariannya tak lain adalah mengairi buku tulisnya dengan kata-kata. Tidak pernah ada tema yang ia khususkan saat menulis buku tersebut. Semua hanya ia biarkan mengalir begitu saja begitu ide terlintas tiba-tiba di kepalanya. Dua purnama berhasil ia lewati, dan patahan-patahan waktu itu menjelma menjadi buku tulis yang penuh menyaji ragam cerita. Dari kekuasaan yang tamak, ibu kos yang galak, hingga tema tentang makanan yang sering membuatnya tersedak. Walau demikian dominan paparan cerita masih seputar perasaannya yang sedemikian dalam.
Energinya seperti baterai yang penuh setelah dicharger, begitu menulis tentang si Sekar Ungu.Perempuan lucu dengan gigi serupa truwelu. Tentang kebiasaannya dulu saat menunggu di bawah tangga untuk sekedar

Sabtu, 23 Juli 2011

Buat Emak,


Teringat beberapa nasihat emak yang kuabaikan begitu saja. Barangkali ego mudaku memang susah terkendali. Hingga petuah demi petuah hanya mampir sebentar di gendang telinga, lalu pergi tanpa menyisa makna. Emak, perempuan paruh baya dengan keriput di wajah, dan uban yang bertebaran hampir di seluruh kepala. Kerutan dan putihnya rambut masing-masing mengurai cerita bagaimana membesarkanku, mengulur gaji Bapak yang terpotong cicilan hutang, kredit rumah, kas bon untuk keperluan mendadak berbagai bulan yang terlampaui.
Emak, pribadi yang luar biasa yang selalu tegar menampar kejamnya kehidupan kami. Pahitnya kesulitan demi kesulitan, beliau sihir menjadi manis dengan kerja keras. Ya, Emak adalah tokoh utama dari masing-masing sejarah kami. Dari lima bocah ingusan yang bodoh, malas, manja, dan tak punya sopan santun menjadi lelaki dan perempuan ulet pantang menyerah, cekatan dan tak pasrah badan. Emaklah yang memotivasi semangat kami, ketika kami nyaris putus asa dan mengurungkan niat untuk bersicepat. Ketika keadaan keluarga sangat berat untuk bisa bersekolah, Emak memutar otak untuk memanjangkan uang sisa gajian. Kami ingat betul saat Bapak harus pendidikan beberapa waktu. Emak mengajari kami mencari kayu, berdagang nasi untuk para kuli bangunan di proyek dekat rumah. Menggusur gengsi untuk berjualan buku tulis di SD, menahan diri agar tidak mudah jajan, beli mainan, dan sekian keinginan yang tidak perlu-perlu amat.
Emak mengajarkan kami untuk kuat berjalan kaki. Berhemat, rajin sembahyang, rajin belajar dan gemar membaca.

Aku ingat betul emak menjahit baju untukku hingga jatah tidurnya berkurang hanya supaya aku berganti baju muslim, setelah kuceritakan aku diejek tidak pernah berganti saat ngaji tiap sore di TPA. Emak juga sampai rela menahan diri tidak membeli gincu, bedak dan pakaian demi menyisihkan jualan berasnya biar terus berlangganan majalah Ananda.
Lain waktu Emak pun menabung seribu demi seribu saban hari supaya aku bisa ikut tambahan pelajaran di tetangga sebelah rumah, seorang guru cerdas yang baik hati.
Mak, maafkan anakmu Mak, bila belum dapat mengembangkan senyuman di bibirmu. Gelar ini sesungguhnya untukmu Mak. Sesungguhnya karenamu aku selesaikan pendidikan di institusi mahal ini. Kampus yang saat ini hanya peduli pada mereka yang kaya dengan pungutan yang kadang bikin anakmu ini meradang. Kampus dengan orang-orang berwajah pongah yang bangga dengan pakaiannya, tumpangannya, dan omongan besar siapa Bapaknya, siapa Pakliknya, siapa Pakdhenya.

Selasa, 03 Mei 2011

Sajak Kota



Bergantilah wajah kami serupa kaum urban yang linglung di tengah himpitan gedung-gedung,
Bercucur keringat, bertabur debu polusi dari pantat-pantat metro mini
Bau apak saban hari menyepak kulit kami
Merubah detik-detik waktu jadi pengalaman-pengalaman tapak sepatu
Langkah kami menggusur gontai yang biasa terakrabi
Desak-desakan para pekerja di bis-bis, di angkot-angkot, di kereta listrik demi sesuap nasi yang segera surut bila terlambat menangkap.
Adalah kami, para perantau pengadu nasib, beradu cepat dengan trantib,
Berjibaku dengan SATPOL PP guna berseteru siapa salah-siapa benar
Keras kepala kami
Keras hati kami
Perginya rasa peduli
Adalah bentukan situasi saban hari disini
Tak ada senyum, 
Tak ada raut ceria karena kami sudah bertarung dari pagi

Bergumul panasnya kepala yang terus berputar seolah turbin tanpa henti
Rasa cemas kami mengalahkan segalanya.
Ketakutan hanya mengkerdilkan dan harus diusir segera bila mampir tiba-tiba
Kami petarung,
Tak boleh setengah hati menghajar hari,
Kami pendekar,
Tak boleh berhenti sebelum menang kami genggam rapat di tangan

Jakarta, 20 September 2010
Bidara Cina 18:30

gambar diambil dari sini

Sabtu, 09 April 2011

Mari Menghajar Ular!




Dalam banyak peribahasa kita, ular tidak bisa dilepaskan begitu saja tanpa peran yang jelas. Pada kehidupan orang kita, sejak mulai dari dalam kondisi sadar hingga di alam mimpi selalu ada saja ungkapan berkaitan dengan ular. Selain mimpi digigit ular yang kita semua tahu artinya, konon bila rumah kita dimasuki ular ada anggapan bahwa kita akan pindah rumah tidak berapa lama kemudian.
Hampir sebagian besar dari kita takut dengan ular. Binatang melata purba ini memang selalu jadi simbol dari segala hal yang berbau keburukan. Dalam cerita kejadian manusia tiba di bumi pun ular ditampilkan sebagai sosok yang menggoda Adam hingga ia rela diusir dari surga demi kecerobohannya memperturutkan kemauan Hawa yang dibujuk oleh ular. Ketakutan orang pada ular pun beraneka ragam. Apakah karena bentuknya yang buruk, kebiasaannya yang menjijikkan, hingga bahaya dari bisa-nya yang mematikan. Seseorang yang pernah dipatuk ular tentu memiliki beragam reaksi. Ada trauma, ada takut, ada macam-macam perasaan lain yang tergambar dari mimik muka serta sikap dan tindakan. Lantaran perjumpaan-perjumpaan manusia dengan binatang yang satu ini, kemudian terbentuklah stereotype mengenai ular.
Maka, mulailah berkembang bahasan ular hingga masuk ke dalam peribahasa. Sebut saja;
“ular berkepala dua, seperti ketiak ular, ular bukan ikanpun bukan, seperti ular kena kedal, sekerat ular sekerat belut, seperti ular menyusur akar, melangkahi ular, sebagai membangunkan ular, jangan berjinak-jinak dengan ular berbisa, seperti ular dicabut ekor, ‘ngula’ sampai pada tafsir digigit ular”.

Selasa, 29 Maret 2011

Melarung Lembayung

Masa lalu selalu saja menyisa kesan.
Meninggalkan jejak untuk kembali ditapaki sebagai pemancing kenangan.
Entah beberapa kali sudah kau ajak lelaki berbeda untuk melawat pada tempat ini,
Tetapi sisa bauku takkan pernah pergi dan terus membuntutimu.
Entah berapa panjang cerita kau lontarkan, tetapi sejenak pasti berhenti; mengingatku ditengah cerita yang kau saji.
Bagimu mungkin akan mudah melupa makna, mencomot peran pengganti.
Bagimu barangkali kemarin hanya dongeng manis penghantar tidur yang akan kembali terulang setiap kali engkau mengulur kasur.
Atau mungkin waktu akan lentur dan mengirim kembali ke masa itu.

Kamis, 10 Februari 2011

Rayuan Tasmijan di Dalam Tas Hitam


Tasmijan memperturutkan perasaannya hingga di luar kendali. Padahal istrinya tengah hamil muda; anak yang kedua di usia dirinya mendekati tiga dua. Bak peribahasa buah kelapa makin tua makin kental santannya, alias tua-tua keladi makin tua makin jadi, hasratnya tak terkuasai begitu ada wanita muda menautkan hati. Pada sebuah pertemuan antar unit usaha membahas renstra perusahaan kisah itu dimulai.
Selepas itu, mereka intim berkomunikasi mulai pesan singkat sampai berbalas telepon. Surat elektronikpun juga dirambah sebagai penyambung lidah. Inilah salah petikan surat rayuannya, yang aku temukan tercetak dalam selembar kertas pada tas hitam model wanita di sebuah kursi taman.

Bagiku tak ada yang salah ketika rasa muncul dan berubah menjadi sesuatu yang menggairahkan, penyengat untuk selalu kuat, atau seratus kegembiraan liar...kata al hallaj...adalah anugerah! karena aku yakin tak semua orang mendapatinya.
akupun demikian. Seperti yang pernah kupaksa padamu untuk mencari sebaris kata berbunyi "Opto Ergo Sum"..aku memilihmu maka aku ada...

Jumat, 07 Januari 2011

Fesbuk dan Macem-Macemnya


Kawan saya punya kawan yang hobinya curhat di facebook. Sebuah situs jejaring pertemanan di dunia maya. 
Menurut penuturannya, kawannya itu seperti orang yang tidak layak untuk hidup. Karena menurutnya hampir semua keluhan ia tumpahkan begitu ia mengalami berbagai macam kegagalan mendekati perempuan. Saking penasarannya saya pada cerita kawan saya itu, iseng akhirnya saya add dia untuk menjadi teman saya. Tidak berapa lama kemudian saya diterima menjadi bagian dari temannya di jejaring sosial itu.
Rupanya benar apa yang dikatakan teman saya, hampir setiap saat ia mencurhatkan patah pucuk juga kekandasan hatinya. berkali-kali, berkali kali dan berkali-kali. Hingga pikir saya jangan-jangan orang ini hanya minta dikasihani saja di dunia maya. Toh juga kan kebohongan yang dimunculkan di dunia maya tidak ada yang mengetahui secara pasti kan? lagian bukankah ketika seseorang sudah berfesbuk ria maka kehidupan pribadinya sudah siap untuk diakses publik juga to?
Hingga pada suatu hari saya dapati status fesbuknya berbunyi:
"tak apa jadi keledai asal bisa mengarungi luasnya kehidupan, panjangnya perjalanan"

Minggu, 28 November 2010

Rerasan Penyintas


     X  :      Mana tembakau pagi ini?
                Mana secangkir kopi pengantar mandi?
                Mana goreng pisang teman membaca koran?
    Y :       Tidak ada.
               Tidak ada,

Tidak ada Kangmas,,,Kita sedang tidak di rumah Mas, sadarlah! Kita sedang di  barak  penyintas. Tak ada fasilitas-fasilitas seperti yang kau sebutkan tadi.  Tak ada kenyamanan-kenyamanan seperti yang kau inginkan.  Disini kita harus berbagi. Tanpa privasi dan bergantung pada uluran tangan.

  XY  :       Pak'e  minta duit buat jajan....

X+Y :        Walah Le, kowe nggawe cumleng sirah wae !!!!*^%$$%^...

Jumat, 05 November 2010

Sambat Gunung


Mbah petruk merutuk batu juga debu,
Sudah sepuluh hari kami beradu takut,
Bergelut kalut.
Jarak aman menjauh ke dua puluh kilometer,
Tidur  tiada nyenyak,
Cemas merenggut tenang,
Was-was menggenang,
Kecamuk hati menggerus waras―panik menggelitik nalar,
Bahaya mengancam!!
Barak Pengungsi
01:17  05 November  2010

Jumat, 22 Oktober 2010

Kami Tetap Berseru!!!


sedalam-dalamnya sajak takkan mampu menampung air mata bangsa,
kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi,
dalam teduh pakewuh,
dalam isyarat dan kilah tanpa makna,*
Kami yang berada di barisan ini sudah cukup muak atas situasi. Kami Pemuda Indonesia telah lelah pada permainan opini dan mulut manis tanpa bukti. Terlalu banyak seteru di dada kami, menyaksikan perjalanan negri di kendalikan elit tak bermutu.
akupun pergi menatap wajah orang berjuta,
wajah orang tergusur,
wajah orang ditilang malang,
wajah legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan,
wajah yang hanya menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai plaza,,,
Persoalan kerakyatan tak kunjung dibahas, melainkan didongkel permasalahan elite, berebut kueh, saling bersikut berebut jatah kekuasaan. Penggusuran PKL, perampasan tanah petani, pemerasan keringat buruh habis-habisan, pengabaian hak-hak rakyat terus menerus. Tanpa malu mereka pertontonkan kepada kita semua.
wajah yang diam-diam menjerit, melengking, melolong dan mengucap:
tanah kita satu,
bangsa kita satu,
bendera kita satu,
tapi wahai saudara satu bendera,
kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh beda antara kita?
Bangkit-Bangkit dan mari berdiri tegak!
kerja keras kita tumbangkan yang menjadi tirani. Keadilan musti kita dapatkan. Kesejahteraan harus kita perjuangkan. Mari bersatu kaum yang sadar! bahwa perubahan harus kita songsong lewat jalan REVOLUSI!!!
* Syair Jembatan Sutardji C. B

Jumat, 03 September 2010

Pesan Singkat Ponselku




Ada yang tersembunyi dari semua ini.
Tak diulas karena disinyalir
Menyusup si culas.

Senyap,
Tak diungkap
Agar tak tertangkap
Si kakap yang punya uang
Untuk membeli informasi

Ponsel bergetar,
Satu pesan singkat masuk…

“Waspadai sukab intel melayu!”



01:09 030710